Selasa, 04 November 2008

MESTAPON (SEMESTA MERESPON)

Oleh: Eni Kusuma

"Setiap prilaku manusia akan direspon oleh alam semesta, entah itu didukung (Mestakung=Semesta Mendukung) atau ditolak (Mestalak=Semesta Menolak). Sedangkan alam semesta bergerak menuju keseimbangannya."
~ Eni Kusuma

* Mestakung dipopulerkan pertama kali oleh Prof. Yohanes Surya, yang telah membawa nama Indonesia menjadi juara dunia Olimpiade Fisika Internasional di Singapura tahun 2006. Sebuah prestasi yang spektakuler.

* Mestakung, istilah ini diambil dari konsep sederhana fisika, bahwa ketika sesuatu berada dalam kondisi kritis maka setiap partikel disekelilingnya akan bekerja serentak demi mencapai titik ideal.

"Mestakung menempatkan masalah dan rintangan menjadi kondisi kritis yang mendorong kekuatan-kekuatan alam mendukung upaya mewujudkan mimpi. Dalam setiap keadaan kritis, mestakung pasti terjadi dimanapun dan dalam bidang apapun. Bahkan dalam kehidupan pribadi Anda."
~ Prof. Yohanes Surya

Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut, terlebih dahulu saya akan menguraikan tentang "keseimbangan" atau "titik ideal".

Dalam hal apa pun dan dalam keadaan bagaimanapun, keseimbangan atau titik ideal menjadi simbol bagi kesempurnaan dan kesuksesan. Alam semesta diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan sempurna atau seimbang. Seluruh gerakan orbital bintang-bintang dan planet-planet bergerak menurut orbitnya masing-masing dengan seimbang. Dan seluruh partikel-partikel atom, molekul di alam semesta bergerak menuju keseimbangan. Jika ada "masalah" atau menurut istilah fisika yang saya dapat dari Prof. Yohanes Surya adalah "kondisi kritis", maka ia akan mencari cara menuju keseimbangan atau titik ideal. Begitu juga dengan manusia sebagai individu atau sebagai kelompok/masyarakat.

Sebagai contoh keseimbangan alam adalah dalam proses bergeraknya air. Air dari dataran tinggi akan mengalir ke dataran rendah menuju ke laut. Menuju keseimbangan. Demikian juga dengan lumpur panas Lapindo yang muncrat dari perut bumi karena mengalami "masalah". Pada saat dalam kondisi kritis itulah ia akan mencari jalan untuk menuju keseimbangan. Tak ayal lagi, pemukiman penduduk yang terletak di dataran lebih rendah dari lokasi kejadian pun terendam lumpur panas tersebut. Sampai kapankah muncratan lumpur panas tersebut akan berakhir? Pastilah ketika keseimbangan atau titik ideal tercapai.

Manusia misalnya. Jika kita berada dalam masalah—dalam hal ini mengalami kondisi panas yang berlebihan atau kondisi kritis—tentu kita akan mencari kesejukan, menuju keseimbangan. Misalnya, entah itu dengan membuka baju (ini hanya jika memungkinkan saja), menghidupkan kipas angin, AC, atau dengan berteduh di bawah pohon yang rindang dengan angin sepoi-sepoi sambil minum sesuatu yang dingin, es cendol misalnya.

Sebaliknya, jika kita berada dalam kondisi dingin yang berlebihan (kondisi kritis) tentulah kita akan mencari kehangatan, menuju keseimbangan. Entah itu dengan selimut, jaket, penghangat ruangan sambil minum sesuatu yang hangat-hangat, seperti minuman teh, susu atau coklat hangat. Atau melakukan aktivitas yang bisa menghangatkan badan seperti olah raga atau aktivitas kehangatan yang lain yang enggan saya ceritakan di sini.

Begitu juga dengan kondisi badan kita. Jika aktivitas kita antara istirahat dan bekerja tidak seimbang, maka tubuh kita akan dalam kondisi kritis alias sakit. Pada saat itulah pasti kita akan mencari cara untuk menyeimbangkan kembali atau menuju titik ideal. Dengan ke dokter, minum obat dan istirahat. Atau dengan banyak-banyak istirahat sampai tubuh mencapai titik ideal dengan sendirinya.

Kondisi jiwa kita juga demikian. Kondisi jiwa yang ideal disimbolkan oleh ketenangan, ketentraman dan kedamaian. Jika jiwa kita dalam kondisi marah, kecewa, dendam, dan berbagai emosi yang jauh dari rasa damai maka di saat itulah jiwa kita dalam kondisi kritis atau kondisi bermasalah. Apa yang akan terjadi? Kita cenderung mencari jalan untuk menetralkan kembali alias menyeimbangkan kembali. Dan tak jarang manusia dalam mencari jalan tersebut bukannya menuju titik ideal malah semakin memperparah keadaan. Seperti melampiaskannya kepada sesuatu atau kepada seseorang. Hal inilah yang harus disadari. Hendaknya jalan untuk menuju keseimbangan tersebut dengan mengontrol dan mengendalikan diri dengan akal dan keterbukaan hati.

Demikian juga ketika kita dihadapkan oleh berbagai macam masalah (kondisi kritis), pastilah kita tentu akan berusaha mencari jalan dalam penyelesaiannya.

Sampai disini, saya akan menjelaskan hubungan antara prilaku manusia dengan respon dari alam semesta—entah itu didukung atau ditolak oleh semesta.

Apa pun yang kita lakukan pastilah akan mendapat respon dari lingkungan tempat kita berinteraksi. Contohnya, jika seseorang dalam kondisi kritis secara finansial atau ada masalah dengan kondisi keuangannya, maka ia akan mencari jalan untuk memperoleh keseimbangan dalam hal finansialnya.

Katakanlah jalan yang dia tempuh dengan berjualan di pinggir jalan. Yang pasti ia akan mendapat respon dari sekitar. Entah itu dari pejalan kaki yang ingin membeli dagangannya, dari pengunjung yang hanya melihat-lihat saja tanpa berniat untuk membeli ataupun dari orang-orang yang tak sedetik pun melirik dagangannya. Bahkan dari petugas penertiban jalan raya. Ada yang mendukung usahanya (Mestakung) dan ada pula yang menolak (Mestalak).

Kenapa sih kok ada Mestalak? Karena usaha yang dilakukan oleh kita mungkin bersinggungan oleh kepentingan orang lain. Misalnya, oleh pengunjung yang tidak membeli barang dagangannya, karena berbeda kepentingannya, atau dengan diusirnya pedagang tadi oleh petugas penertiban jalan raya yang dalam usahanya untuk menertibkan atau menginginkan jalan raya dalam kondisi ideal. Bersih dari pedagang kaki lima.

Jika sudah disediakan tempat untuk berjualan, namun masih ada saja pedagang-pedagang liar yang melakukan aksinya yang tidak mendukung perintah petugas penertiban jalan raya (di sini petugas tersebut mengalami mestalak juga dari para pedagang-pedagang liar itu), tentulah kondisi masyarakat tersebut sudah dalam kondisi yang kritis atau ada masalah. Karena semua mencari jalan untuk menyeimbangkan kondisinya masing-masing, tidak peduli apakah kepentingannya berbentrokan dengan kepentingan orang lain yang menggunakan jalan raya tersebut.

Sampai kapankah kondisi ini akan berakhir? Tentu saja sampai tercapai keseimbangan atau tercapai titik ideal. Yaitu, jika semua masyarakat di suatu wilayah tersebut telah mencapai keseimbangan dalam berbagai hal. Secara finansial dan kepribadian. Mungkinkah kita akan bisa mencapai titik ideal tersebut?

Sayangnya, manusia itu tidak seperti semut yang selalu bekerja sama untuk mencapai keseimbangan atau titik ideal bagi warganya. Masih ada yang egois, possesive dan serakah serta tidak mau berbagi. Penyeimbangnya adalah manusia-manusia dengan pribadi-pribadi yang tidak egois, tidak posesive, tidak serakah serta mau berbagi dengan segala daya upaya dan usahanya untuk menyeimbangkan kembali tatanan masyarakat yang tidak seimbang itu. Sampai kapankah usaha ini akan berakhir? Sampai kondisi sudah mengalami keseimbangan atau titik ideal. Sayangnya, kondisi ideal masih jauh dari harapan kita yang masih dalam kondisi kritis dan semrawut ini. Entah sampai kapan.

PR berat bagi orang-orang yang mengupayakan keseimbangan ini. Karena masih sedikit masyarakat yang mendukung orang-orang tersebut. Buktinya, media-media lebih suka menyajikan hal-hal yang tidak membangun. Lebih senang dan lebih mengutamakan berita-berita tentang suatu aib yang dilakukan seseorang. Entah itu korupsi, perselingkuhan dan lain-lain. Dan sepertinya tokoh-tokoh itu lebih terkenal dan populer daripada tokoh-tokoh yang mendukung usaha perbaikan dan keseimbangan. Parahnya aib yang dilakukan oleh mereka itu mendapat opini sana sini yang mencoba membenarkan tindakan mereka. Seperti misalnya, mencoba mencari sisi baik atau sisi positif dari seorang yang sudah terkenal akan aibnya, misalnya seorang koruptor.. Padahal akan butuh energi besar untuk membalikkan kenyataan tersebut supaya dia terbalik menjadi seseorang yang terkenal karena kebaikannya.

Saya sampai bermimpi akan menjumpai media yang berlomba-lomba membicarakan atau mengabarkan (juga) tentang kabar dari orang -orang yang berbuat kebaikan atau bahkan menyajikannya sebagai berita utama atau ditampilkan sebagai kaver depan. Sehingga perbuatan mereka mampu menghipnotis yang lain untuk berbuat yang sama. Ironisnya, kebaikan sepertinya enggan untuk dipublikasikan. Bahkan oleh yang bersangkutan sekalipun. Entahlah, mungkin enggan populer sebagai simbol rasa kerendahatian. Atau saya saja yang tidak mengetahuinya, karena keterbatasan saya?

Demikianlah, apa pun yang kita lakukan pasti akan direspon oleh alam. Jadi didukung atau ditolak itu adalah sebagai reaksi saja dari suatu aksi kita. Maka pandai-pandai kita sajalah dalam memilih aksi yang akan menimbulkan reaksi yang mendukung aksi kita. Jika aksi kita positif cepat atau lambat akan berhasil dan sukses. Sebaliknya jika aksi kita negatif, cepat atau lambat pasti akan hancur karena alam semesta selalu bergerak menuju keseimbangan. Sedangkan keseimbangan adalah kesempurnaan dan kesuksesan atau kebaikan itu sendiri. Jika ada "masalah " pastilah sedang terjadi kondisi kritis. Dan secara alami sesuatu akan selalu mencari dan mencari jalan atau cara untuk mengatasinya demi tercapainya keseimbangan atau kebaikan. Bagaimana pendapat Anda?[ek]

* Eni Kusuma adalah alumnus SMU 1 Banyuwangi yang saat ini bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga (TKW) di Hongkong. Di sela-sela “kesibukannya” sebagai “pemburu devisa”, ia masih sempat aktif sebagai moderator milis Backhomers, serta jadi “aktivis” di milis De Kossta dan milis Penulis Best Seller. Eni adalah penggagas rubrik "So What Gitu Loh!" di majalah “PEDULI” yang terbit di Hongkong. Eni suka menulis cerpen, puisi, dan pernah menulis sebuah naskah novel. Puisi Eni bersama 100 penyair Indonesia dibukukan dalam buku berjudul "Jogja 5,9 Skala Richter". Eni suka menulis artikel yang ditulis berdasarkan pengalaman hidupnya sebagai pembantu rumah tangga, serta proses pembelajarannya melalui bahasa tulisan. Saat ini, kumpulan artikel motivasi Eni sedang diproses menjadi sebuah buku oleh sebuah penerbit di Jakarta. Eni dapat dihubungi di: ek_virgeus@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman