Selasa, 04 November 2008

PAKEM UNIVERSAL KEHIDUPAN

Oleh: Roni Djamaloeddin


Di-rumangsani (disadari) atau tidak, semua manusia “pasti” berkeinginan hidup enak dan ketika mati nanti enak pula (masuk surga). Jauh dari masalah-masalah berat yang melilit kehidupan. Semua kebutuhan yang diingini tercukupi. Bahkan, maunya, keinginan yang diluar nalar sekalipun dapat terpenuhi juga. Hingga yang paling puncak, matinya nanti masuk surga (sebuah tempat yang menjanjikan berjuta-juta keindahan, kenikmatan, kebahagiaan, yang sama sekali tak dapat dibayangkan sebelumnya).

Sebaliknya, tak seorang pun terbersit keinginan terdampar di neraka. Tersinggung pun jangan, apalagi tercebur di dalamnya. Sebab, ia merupakan tempat ”pembantaian” yang tiada tara dahsyatnya, bengisnya, kejamnya, sakitnya, dst-dsb yang tak dapat diurai lagi dengan kata-kata ciptaan manusia. Sampai-sampai disabda Nabi SAW: ”walau api neraka itu besarnya seujung jarum, ia sanggup menghanguskan dunia dan seisinya”. Dan, tentu saja, yang namanya neraka ini benar-benar sangat dihindari.

Kedua wacana tersebut, walau kebenarannya belum dapat dibuktikan (dirasakan) secara pasti, namun sudah menjadi “pakem”-nya hidup dan kehidupan. Ia telah diwariskan secara turun tumurun dari para nenek moyang terdahulu. Baik yang sifatnya alami maupun yang dipaksakan (wajib diwariskan). Anehnya, para anak cucu sekarang, termasuk kita-kita—maupun generasi mendatang—percaya begitu saja retorika tersebut. Bahkan cenderung langsung membenarkannya. Tak ada yang mau menggali dan mengkritisi hingga jablas-kandas-tuntas pakem aslinya.

Hal tersebut menandakan begitu hebat-dahsyatnya sebuah pendidikan yang didoktrinkan sejak kanak-kanak. Si anak yang belum bisa berpikir benar-tidaknya sebuah persepsi, langsung menangkap semua teori yang diberikan tanpa disertai pemikiran-cerdas sama sekali. Sebuah metode pendidikan yang hikmahnya sangat luar biasa, hingga mengakar dalam pemikiran bahkan menembus ruh dan jiwa. Kemudian menyatu dengan darah dan nafas kehidupan sehari-hari.

Pakem Universal
Secara sufism-experience, pakem universal kehidupan (dari Sono-nya) adalah sebagai ujian. Yaa, ujian yang harus dijihadi dengan sebenar-benarnya “jihad”, agar bisa pulang kepada-Nya. Serangkaian materi tes yang harus diselesaikan sebagai ”sarat mutlak” bisa kembali kepada-Nya. Andai seorang ”Tarzan”—yang ujiannya sejak lahir dibuang di tengah hutan—maka pakem kehidupannya adalah bisa bertemu lagi dengan orang tuanya.

Materi ujiannya berupa anak istri, keluarga, harta, pekerjaan, jabatan, bahkan jiwa raganya sendiri, dan segala macam bentuk-sistem-metode aktifitas kehidupan lainnya. Ditambah dengan berjuta-juta artefak (budaya, teknologi, komunikasi, aneka permainan maupun kesenangan) ciptaan manusia. Kesemuanya menambah makin rumit, berat, dan kompleksnya ujian. Yang mengerikan, materi tersebut benar-benar membuat pengerjanya lupa sama sekali (mabuk kepayang), bahwa bagaimana pun keadaannya ia tetaplah ujian.

Di samping memabukkan, ironisnya lagi, ia dibuat menjadi sangat indah-mempesona dan menarik. ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (alat transportasi yang canggih/modern), binatang-binatang ternak dan sawah ladang (pekerjaan). Itulah kesenangan hidup di dunia” (Q.S. 3:14). Padahal mestinya, Sang Penguji-lah yang harusnya dicintai, bukan materi ujiannya.

Sayangnya, pakem universal ini mengalami pergeseran makna. Terdiferensiasi menjadi beribu-ribu pakem lain, yang masing-masing berusaha berdiri sendiri. Tidak mau berintegrasi (mengerucut) pada pakem universal.

Misalnya ungkapan ”hidup adalah perjuangan”. Perjuangan sendiri ternyata banyak maknanya. Ada yang memaknai dengan perjuangan menggapai sukses, perjuangan memakmurkan dunia, perjuangan menggapai kebahagiaan dunia akherat, perjuangan mendapatkan ”surga” dan lain sebagainya. Sedang pakem universalnya mengatakan hidup adalah sarana (perjuangan) bertemu Tuhan. Ad-dunya fii mazroatul akhiroh, bahwa dunia adalah ladangnya akherat.

Bukannya perjuangan masuk surga maupun menghindar dari neraka. Sebab, surga neraka adalah milik-Nya. Urusan hamba adalah memproses diri agar bisa bertemu dengan-Nya. Perkara dimasukkan surga-neraka mutlak menjadi urusan-Nya. Tidak sepantasnya bila hamba ikut main mencampuri urusan-Nya. Bila ternyata amal perbuatannya pas sesuai kriteria-Nya, sewajarnyalah bila akhirnya dimasukkan dalam surga, sebagaimana yang telah dijanjikan. Begitu pula sebaliknya, bila amalnya tidak pas sesuai kriteria-Nya, walau diyakini sudah pas dengan kehendak-Nya, maka tetaplah neraka sebagai imbalannya.

Pakem ”bertemu Tuhan” ini pun mengalami distorsi. Banyak yang berasumsi bahwa setelah mati nanti pasti bertemu dengan-Nya. Setelah bertemu, barulah kemudian masuk surga atau neraka. Bila ternyata masuk neraka, maka setelah ditebus dengan berbagai macam siksaan, tentu akan dimasukkan surga. Bahkan ada yang sangat optimis ”pasti” masuk surga.

Sedang pakem universalnya, tidak semua kematian otomatis bisa bertemu lagi dengan-Nya. Orang-orang ”super khos” telah membuktikannya. Yaitu mereka yang dianugerahi ”hidayah khusus” oleh-Nya—dengan terlebih dahulu nglakoni (menjalani) ilmu ”khos” pethingan(rahasia)-Nya. Melalui pandangan ”mata hati”-nya yang tajam, dapat melihat ruhnya mereka yang sudah mati ditangkap oleh wadya balanya penasaran, masuk ke alam sesat.

Logikanya, orang buta tentu tidak akan pernah sampai Roma, walau beribu-ribu jalan terbentang ke arahnya. Satu-satunya kunci mutlak mencapainya adalah ”berguru” pada yang tahu pasti tentang Roma. Apalagi terhadap Tuhan yang Al-Ghayb, mana mungkin pula bisa bertemu dengan-Nya, sementara hati nurani roh dan rasanya ”buta” terhadap-Nya, belum/tidak tahu secara pasti Wujud/Dzat-Nya?

Fenomena Surga Neraka
Hampir semua umat terjebak oleh paradigma kehidupan pendahulunya, bahwa ”ending” kehidupan adalah surga. Hidup dan ibadahnya kemudian demi mendapat surga. Oleh karenanya, masuk surga—dan terhindar dari neraka—adalah segala-galanya (final target) dan dijadikanlah sebagai tujuan hidup (way of life).

Persepsi seperti itu sama sekali tidak benar. Sebab, surga dan neraka adalah milik-Nya. Yang benar, bertemu pemilik surga-neraka adalah segala-galanya. Sebagaimana wasiat Sunan Kalijogo ”Inna al-jannata laqiya Rabba”, sesungguhnya surga itu tempat/suasana bertemunya hamba dengan Tuhannya.

Fungsi dasar dimunculkannya imbalan surga dan ancaman neraka adalah pengiming-iming (daya tarik, daya pikat) dan pemicu (cambuk). Sebab, tanpa adanya iming-iming/ancaman yang berupa surga/neraka, manusia tidak mau mengerjakan seruan rasul-Nya. Maunya sak karepe dewe, nggugu benarnya sendiri, bahkan merasa cukup dengan pendapat/ide/pengetahuan yang ada pada dirinya. Terlanjut ”kelet” (terpatri) dengan dunianya masing-masing, hingga tidak butuh bertemu Sang Pemilik Dunia.

Persis sebagaimana kisah anak kecil, agar mau mengerjakan perintah orang tuanya maka kepadanya perlu diiming-iming (dijanjikan) permen/uang. Tetapi begitu pikirannya dewasa, dapat berpikir bahwa mengerjakan perintah orang tua adalah sebuah keharusan, maka ia tidak lagi mengharap permen/uang yang telah dijanjikan. Melainkan hanya mengharap ridho dan kasih sayangnya.

Selanjutnya, masih pantaskah kita (yang telah bisa berpikir ini) membantu kerepotan orang tua yang telah membesarkan kita, demi mengharap imbalan (pemberian) darinya? Masih pantaskah seorang hamba beribadah kepada Tuhannya karena mengharap surga dan dijauhkan dari neraka?

Oleh karenanya, sangat bijaklah kiranya bila mencermati, merenungi, sekaligus mempraktekkan ”mutiara hikmah” pengalaman-pemikiran sufi agung Rabiah Adawiyah di berbagai karyanya. Melalui salah satu puisi romantisnya dia bersenandung:

“Ya Rabb, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakar aku dalam neraka. Jika aku menyembah-Mu dengan mengharap surga, haramkan dia bagiku. Dan jika aku menyembah-Mu karena Diri-Mu semata, jangan cabut aku dari keindahan abadi-Mu”.

Lebih dari itu, sanggupkah kita membumikan ke dada yang paling dalam ”kritik-pahit” Chrisye dan Dewa dalam syair sebuah lagu: ”Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepada-Nya? * Roni Djamaloeddin adalah dosen STT POMOSDA, guru SMA POMOSDA, dan praktisi Sufistik. Ia beralamat di Jln. Wakhid Hasyim 312 Tanjunganom Nganjuk. HP 08123419879.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman