Kamis, 13 November 2008

Gizi dan HDI



Oleh: Kusuma Andrianto*


TULISAN Ki Supriyoko (Kompas, 20/7/2004) menyebutkan, dibutuhkan tiga kunci utama untuk meningkatan human development index (HDI) negara Indonesia, yaitu visi, komitmen, dan disiplin. Penulis merinci bagaimana kesuksesan beberapa negara, misalnya Malaysia, Thailand, dan Singapura, mengelola human capital, sehingga secara otomatis HDI negara-negara jiran itu melejit lebih unggul.

Tidak ada yang salah dalam pemikiran itu, jika ditinjau dari sudut pandang Supriyoko yang secara profesional terlibat proses membangun human capital. Dan ketiga prinsip pengelolaan human capital itu mutlak diperlukan, bila Indonesia ingin memperbaiki peringkat HDI yang terpuruk.

Bila modal dasar human capital Indonesia mencukupi, program yang diisyaratkan Supriyoko mudah diimplementasikan. Namun, mental dan etos bangsa yang sudah berpuluh tahun terbentuk oleh rezim yang berkuasa, bukan pekerjaan mudah untuk diubah secara instan.

Oleh karena itu, bila kita ingin meningkatkan kualitas HDI secara signifikan, cara paling tepat adalah meningkatkan mutu pelajar dan siswa SD, yang merupakan faktor penentu HDI Indonesia di massa datang. Itu berarti investasi human capital harus dilaksanakan sesegera mungkin dari sekarang.

Pendidikan atau makanan?

Sudah merupakan keharusan dan kewajaran bagi anak-anak untuk mendapat pendidikan. Sayang, tidak semua anak-anak dapat memenuhi kebutuhan dasar itu.

Jangankan bersekolah, kebutuhan lebih dasar, pangan, belum terpenuhi. Hasil penelitian badan kesehatan dunia WHO 2003 menyebutkan, hampir satu dari lima (17 persen) penduduk dunia, terutama di Benua Asia, adalah masyarakat kurang gizi. Yang mengkhawatirkan, separuh penduduk miskin dunia terdiri dari kanak-kanak.

Di Indonesia, banyak penelitian menunjukkan, puluhan juta penduduk Indonesia tergolong miskin. Ini dihitung berdasarkan jumlah konsumsi makanan harian yang kurang dari 3.000 kalori. Metode ini amat jitu, karena bila pendapatan lebih rendah daripada pengeluaran konsumsi untuk membeli sejumlah kalori minimum yang dibutuhkan tubuh, otomatis seseorang akan kurang gizi.

Kerugian yang disebabkan kerugian gizi pada anak-anak, amat serius bahkan dapat bersifat permanen. Menurut para pakar kesehatan, malnutrisi selama beberapa bulan saja pada usia anak-anak akan mengakibatkan kelumpuhan fungsi otak, yang akhirnya menghambat kemampuan kognitif.

Lebih parah lagi, temuan terbaru para ahli kesehatan ( The Economist, 29 Juli 2004) menunjukkan, perbandingan drastis bagaimana kanak-kanak yang kurang gizi di Korea Utara tumbuh rata-rata 25 sentimeter lebih pendek dari kanak-kanak di Korea Selatan.

Kerugian akibat malnutrisi tidak hanya berdampak secara fisik, tetapi terutama lagi opportunity cost yang amat serius. Termasuk di dalamnya pendidikan yang tidak sempat dinikmati, yang akhirnya harus dibayar seumur hidup. Rendahnya pendidikan mengakibatkan rendahnya tingkat pendapatan, yang terus berlanjut hingga usia tua.

Studi WHO lebih lanjut mengungkapkan, dalam perhitungan kasar, kerugian materi yang diderita tiap anak kurang gizi mencapai 600 dollar AS, tidak jauh berbeda pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia. Itu berarti, dengan gizi yang baik, pendapatan Indonesia dapat ditingkatkan dua kali lipat!

Program makanan tambahan

Jelas, kerugian yang terbuang akibat malnutrisi amat signifikan. Lalu bagaimana caranya meningkatkan pembentukan human capital pada masyarakat kurang mampu? Cara paling jitu adalah dengan mengaktifkan pendistribusian makanan suplemen kepada siswa SD, terutama sekali di daerah miskin.

Fakta menunjukkan, sebagian siswa miskin membolos sekolah untuk dapat bekerja sekenanya guna menambah penghasilan. Parahnya, sebagian orangtua menyetujui praktik itu, karena tekanan kemiskinan.

Dengan dijalankannya program makanan tambahan bagi murid, peta perhitungan akan berbalik 180 derajat. Kecenderungan membolos untuk bekerja akan berkurang, karena siswa mendapat makanan di sekolah.

Mereka "terpaksa" membolos karena mau mencari tambahan untuk kebutuhan makan harian. Namun yang lebih penting lagi, gizi yang baik akan meningkatkan daya serap siswa, yang merupakan investasi jangka panjang bagi pembentukan human capital.

Dengan demikian, prioritas mana yang lebih penting bagi masyarakat kurang mampu: makanan atau pendidikan bukan lagi masalah, karena ini dapat diberantas sekali jalan.

Pengalaman negara lain

Tidak ada batasan berapa lama program makanan suplemen harus dijalankan. Namun jika kebiasaan mengonsumsi makanan secara teratur sudah terbentuk, program ini dapat dihapus perlahan, sejalan usia siswa yang juga sudah beranjak dewasa.

Namun, beberapa negara tetap mempertahankan pentingnya budaya makan, bahkan hingga memasuki dunia profesional, contohnya Jepang. Setiap kali jeda makan berlangsung, semua pegawai akan antre makanan.

Uniknya, sudah jadi norma umum, pegawai paling yunior maju lebih dulu, dan yang paling senior paling belakang. Ini mengingatkan tradisi di Jepang, pekerjaan adalah ibarat pasangan hidup, maka biasanya pegawai paling senior juga yang paling tua, dengan sendirinya, yang paling tinggi jabatannya. Jadi tidak ada istilah pimpinan makan lebih dulu. Justru sebaliknya, pekerja yunior, yang diyakini masih dalam proses pembentukan human capital.

Lain halnya dengan pengalaman negara Inggris pada periode 1980-an, saat perang Malvinas (Falkland) berlangsung. Perdana menteri yang berkuasa saat itu dengan penuh tekad memimpin konfrontasi dengan Argentina, meski harus dibayar dengan penghentian program distribusi roti dan susu kepada siswa guna membiayai perang.

Meski akhirnya Inggris memenangi perang, namun di dalam negeri Sang Perdana Menteri mendapat kecaman pedas masyarakat, yang sadar betapa pentingnya tambahan makanan roti dan susu bagi putra-putri mereka. Margareth Tatcher, sang perdana menteri yang dimaksud, mendapat julukan baru, Thatcher, Thatcher, the Milk Snatcher.

Tantangan ke depan

Sebelum ini, beberapa daerah di Indonesia juga pernah menjalankan program pemberian makanan. Sayang, program itu dilakukan secara sporadik, sehingga tidak menghasilkan dampak apa pun, selain promosi dan popularitas pejabat setempat saat pelaksanaan program itu diliput media masa.

Bahkan ada pula oknum yang menodai kepercayaan sehingga akhirnya program dihentikan. Demi kepentingan pribadi, beberapa pejabat terkait mengorupsi sebagian dana dan memberikan makanan yang sudah kedaluwarsa, sehingga anak- didik keracunan dan muntah- muntah.

Sulit membayangkan, bagaimana orang mampu mengorupsi dana yang khusus bagi anak-anak, yang mungkin putra-putri mereka sendiri. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah: mereka merasa cemburu, mengapa mereka tidak mendapatkan makanan saat duduk di bangku sekolah dulu.

*Tulisan ini pertama kali dimuat di Kompas, 18 Oktober 2004 dan dimuat kembali atas izin Kusuma Andrianto penulisnya. Penulis adalah Mahasiswa PhD, dan Peneliti Human Capital Leeds University Business School, UK. Ia dapat dihubungi melalui email: kandrianto1@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman