Kamis, 13 November 2008

Merindukan Politik (yang) Moralis (Menggagas Visi Baru Perpolitikan Indonesia)



Oleh: Danang A. Akbarona

Moral dan politik dewasa ini ibarat air dengan minyak. Keduanya sulit untuk dipertemukan dalam wadah yang sama. Moral dianggap sebagai aksen yang mewakili keserba-baikan, keserba-sucian dan eserba-murnian. Moral identik dengan agama dan ketuhanan. Ia mewakili dimensi spiritual-transendental yang dalam banyak hal dimonopoli oleh para nabi, sufi, kyai, dan alim ulama. Sementara, politik mewakili hal-hal yang kotor, licik, intrik, manipulasi dan sejenisnya. Ia adalah realitas mondial kemanusiaan yang menganut hukum homo homini lupus dalam rimba belantara persaingan kepentingan sesaat. Makanya, membicarakan moral dalam lanskap praktik politik menjadi naïf kalau bukan uthopia. “Anda tidak akan pernah bersih ketika terjun ke wilayah politik. Hanya ada dua kemungkinan, anda akan tercemar atau anda akan terdampar”, demikian kira-kira ungkapan untuk menggambarkan dunia hitam perpolitikan dewasa ini.

Seorang kyai atau ulama ketika memutuskan untuk terjun ke gelanggang politik akan kehilangan kharismanya sebagai kyai dan ulama di mata masyarakat. Ia, mau tidak mau-suka tidak suka, akan lebih dikenal sebagai politisi (baru) yang kurang lebih tidak ada bedanya dengan politisi-politisi lainnya. Sehingga tidak heran bila orang-orang alim-para ulama (termasuk ilmuwan dan/atau cendekiawan) selalu berusaha mengambil jarak diametral dari politik dan kekuasaan. Politik terlanjur menjadi dunia lain yang berpotensi besar mendegradasi moral dan integritas seseorang. Ia bahkan telah menjadi wilayah yang paling kecil diharapkan mampu menjadi teladan bagi upaya perbaikan (moral) masyarakat.

Apa yang salah dari pemahaman retak antara moral dan politik di atas? Tidak mungkinkah politik yang bermoral mengejawantah dalam praktik sehari-hari?. Mungkinkah politik menjadi sarana perbaikan yang paling bisa diharapkan kedepan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, agaknya kita harus kembali pada cara pandang (paradigma) kita terhadap politik dan perpolitikan sampai dengan saat ini.

Dalam dunia politik, untuk sekian puluh tahun, kita mengenal adagium “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Kita juga mengenal untuk sekian lama istilah “penghalalan segala cara dalam politik”. Istilah yang telah menjelma menjadi hukum dan kode etik politik ini lahir dari rahim pemikir politik yang paling berpengaruh sepanjang zaman—terutama bagi para diktator—Nicollo Machiavelli. Bukunya Ill Principe menjadi kitab suci para praktisi politik dan penguasa lalim saat ini. Kita juga hafal di luar kepala adagium yang mengatakan bahwa “Dalam politik tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”. Kenyataan bahwa alam pikiran dan pengetahuan kita dijejali oleh sisi kelam dan keji dari politik masih ditambah oleh praktik politik dunia yang sering untuk tidak mengatakan selalu diwarnai oleh negative behavior dari para politisi dan penguasa. Dalam politik praktis kita tahu ada politik uang (money politic), manipulasi suara, pembunuhan karakter (character assassination), kongkalikong atau persekongkolan yang dibungkus dengan koalisi atas nama kepentingan bangsa dan negara, dan lain-lain.

Sementara, pada sisi lain, kenyataannya kita tidak pernah mengenal dan/atau diajarkan secara serius dimensi moral dari politik, bagaimana wajah politik yang santun, dan bahwa ada positive behavior dari sejumlah kecil politisi dan penguasa dalam praktik politik di masa lampau maupun saat ini. Secara agak sempurna kita telah terperangkap pada stigmatisasi terhadap suatu konsep, pemahaman, dan implementasi yang seharusnya netral menjadi bias negatif yang sangat mencolok dan berlebihan. Artinya, politik, pada dasarnya, memiliki potensi yang sama untuk menampakkan dua wajahnya: satu wajah jahatnya dan satu wajahnya yang moralis. Dan itu semua bermula dari kesalahan kita dalam memandang dan memaknai politik. Sehingga untuk mengubah kesalahan pemahaman tersebut kita harus mentransformasi dimensi paradigmatik kita tentang politik dan kekuasaan.

Kalau kita telusuri, jagad politik bukanlah sesuatu yang asing buat kita. Jauh-jauh hari Plato dan Aristoteles telah menyebut manusia sebagai “zoon politicon” atau makhluk politik. Dua karya magnum opus, Republic-nya Plato dan Politics-nya Aristoteles menjelaskan sejatinya politik itu agung dan mulia yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Sebuah masyarakat berkeadaban yang terwujud dalam tatanan sosial yang berlandaskan pada hukum, norma, dan aturan sehingga tercipta keadilan, kesejahteraan, dan keamaslahatan umum.

Bagi Plato, politik adalah jalan mencapai apa yang disebut a perfect society; bagi Aristoteles, politik adalah cara meraih apa yang disebut the best possible system that could be reached (Hacker 1961). Ibnu Khaldun, ilumwan politik Islam, belakangan menegaskan bahwa kehidupan politik adalah keharusan bagi kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Berpolitik dilukiskan sebagai sarana menuju keteraturan dan sebuah cara menuju peradaban.

Dengan demikian, politik pada dasarnya merupakan laku lahiriyah manusia yang menjadi sunnatulloh eksistensinya di dunia. Secara fundamental, dalam khasanah doktrin Islam, disebutkan bahwa manusia adalah makhluk Alloh yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah-Nya yang mengemban tugas isti’maru al-ardh, memakmurkan bumi dengan syariat-Nya. Kalau khalifah kita artikan sebagai kekuasaan, maka untuk mencapai kekuasaan itu politik tidak mungkin dinihilkan. Artinya manusia adalah satu-satunya makhluk yang berpolitik, karena Alloh tidak mengirim atau membebankan amanah sebagai khalifah-Nya kepada selain manusia. Orang yang tidak dapat hidup berkelompok dan dengan modal kebebasannya tidak memiliki kebutuhan politik sama dengan binatang. Maka sifat politik adalah kekhususan manusia. Setiap manusia adalah rajulun siyasi (politisi). Manusia yang tidak mengerti politik adalah bukan lagi manusia dalam arti yang sesungguhnya.

Kenyataann yang terjadi dalam praksis politik memang ada yang disebut—meminjam istilah M. Amien Rais (1999)—politik kualitas-tinggi (high politic) dan politik kualitas-rendah (low politic). Politik kualitas-tinggi adalah politik pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi, kedudukan, dan jabatan adalah manifestasi dari amanah masyarakat yang membutuhkan petanggugjawaban (accountability) dan diorientasikan untuk mengajak seluruh komponen bangsa dalam kerangka persatuan dan kesatuan.

Dalam alam demokrasi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi yang memberikan mandat kepada para pemimpin sebagian kedaulatannya. Mandat tersebut dengan demikian harus dipertanggungjawabkan secara etik dan moral kepada rakyat. Bahkan dalam Islam, esensi pertanggung jawaban sebuah amanah melampaui tuntutan demokrasi, yaitu bahwa Alloh pemegang kedaulatan tertinggi dan pertanggungjawaban terpenting dan tertinggi ada di hadapan-Nya kelak (di lauhul mahfudz). Politik kualitas-tinggi juga harus difahami bukan dalam frame kepentingan yang mendorong persaingan kekuasaan (struggle for power), namun ia harus difahami dalam frame melampaui itu, yaitu berorientasi pada penyatuan kekuasaan untuk kepentingan rakyat.

Secara diemetral, politik kualitas-rendah menunjukkan praktik politik-kekuasaan yang dengan sederhana dapat kita katakan bercirikan: kepentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat; menghalalkan segala cara untuk mencapai kepentingan (politik Machiavellis); dan mengembangkan pola hubungan politik yang menang-kalah (win-lose), artinya kemenangan sejati dalam politik terwujud jika kekalahan mutlak terjadi pada lawan politik. Ia sama sekali menafikan sendi-sendi kebersamaan sehingga memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Keunggulan sekaligus kelemahan demokrasi, dalam hal ini, adalah bahwa ia menyediakan ruang yang sama bagi berlakunya dua langgam politik di atas. Prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan, termasuk kebebasan dalam berpolitik. Praktik politik kualitas-rendah selama mendapatkan legitimasi, yang tentunya telah dimanipulasi oleh politisi, masih memperoleh ruang dalam alam demokrasi. Apalagi jika legitimasi yang telah dimanipulasi demikian menggurita—sangat kuat dan mengakar luas—dalam masyarakat. Yang terjadi sesungguhnya adalah pemutarbalikan logika dan akal jernih politik; yang jelek kelihatan baik atau yang low kelihatan high. Inilah kekalahan sempurna moralitas politik vis-à-vis dekadensi moral politik.

Dalam setting politik Indonesia saat ini yang terjadi adalah langgam politik yang terakhir. Kita dengan mudah menemukan jejaring politisi rendahan atau yang lebih populer disebut sebagai ‘politisi busuk’ atau ‘politisi hitam’. Sialnya, mereka telah sekian puluh tahun lamanya mengendalikan kekuasaan negeri ini sehingga dengan cara yang sangat-sangat sistematis membangun legitimasi semu untuk mempertahankan posisinya. Mereka memiliki mesin politik yang sangat brilian, bahkan organisasi negara telah menjadi bagian dari mesin politik mereka dalam mengukuhkan posisi dan kedudukan mereka dalam pentas kekuasaan nasional. Makanya, bukan sesuatu yang mengagetkan bila beberapa waktu lalu Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama Hasyim Muzadi, dalam satu kesempatan, mengatakan bahwa negara ini dipimpin oleh kumpulan perampok dan penjudi. Bukan pula sesuatu yang mengejutkan bila Aliansi Tolak Politisi Busuk kesulitan bukan main mengidentifikasi siapa politisi yang disebut politisi busuk karena hampir semua politisi di negeri ini busuk. Bahkan ketika dua ormas terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah, menandatangani komunike bersama Anti Korupsi dan kurang menampakkan hasil yang signifikan adalah kenyataan yang dapat diprediksi dari awal karena bisa jadi semua elemen masyarakat kita, dari atas sampai ke bawah termasuk anggota kedua ormas besar tersebut, telah menikmati korupsi yang dikemas secara legal sehingga tidak ada yang pernah merasa bersalah (never feeling guilty).

Kwik Kian Gie secara gamblang menggambarkan bagaimana proses korupsi terjadi dalam birokrasi negara melalui ‘mimpinya menjadi koruptor’ di Harian Kompas bebebarapa waktu yang lalu. Kenyataannya, irasionalitas politik yang sama sekali tidak bermoral telah mengalahkan rasionalitas politik sehingga hampir-hampir tidak ada ruang bagi moralitas politik di negeri ini. Bayangkan negeri yang demikian kaya dengan potensi baik SDA mapun SDM, akibat kesalahan-urus yang dilakukan oleh para politisi busuk, menjadi negeri yang terpuruk hampir di segala bidang. Apatah, nasi sudah menjadi bubur, daripada tidak sama sekali, gerakan untuk menghadang para politisi busuk kembali bertahta harus diwujudkan. Pertama, ditempuh dengan menyentuh dasar kesadaran masyarakat bahwa mereka, para politisi busuk, adalah causa prima keterpurukan bangsa ini. Kedua, kesadaran kolektif tersebut harus menjelma menjadi gerakan kolektif dengan kerja-kerja kongkrit nan cerdas dan berani.

Belum juga daftar politisi busuk dipublikasikan ada sebagian pihak yang ‘menakut-nakuti’ agar gerakan ini berhati-hati terhadap tuntutan balik pencemaran nama baik oleh politisi yang bersangkutan. Dus, jangan sampai hal ini membuat nyali gerakan mengkerut. Dalam hukum, kita mengenal praduga tak bersalah. Paralel dengan hal itu, saran beberapa pihak, dalam menentukan nama politisi busuk diharapkan gerakan anti politisi busuk menggunakan asas tersebut. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam kondisi normal, dimana hukum ditegakkan secara konsisten. Celakanya, yang dimaknai kondisi normal bangsa kita saat ini adalah kondisi dimana politisi busuk tak kepalang tanggung jumlahnya, korupsi merajalela, birokrasi menjadi alat kepentingan individu dan golongan, dan lain-lain. Alih-alih ingin menjadi normal dalam arti yang sesungguhnya, gerakan anti politisi busuk justru dianggap abnormal. Makanya, logika yang harus dikedepankan oleh gerakan ini adalah logika yang abnormal juga, yaitu praduga bersalah. Ajukan semua nama politisi yang dianggap busuk dengan data-data yang pada dasarnya sangat transparan alias semua orang tahu. Lalu biarkan rakyat menilai dan memberikan vonis kepada mereka.

Berbagai gerakan semacam gerakan anti politisi busuk dan anti korupsi harus dimaknai dan diikhtiyarkan sebagai gerakan kontra dekadensi moral politik yang secara kukuh bertujuan untuk membangun moralitas politik bangsa ini. Paradigma baru dalam berpolitik dengan mengedepankan praktik-praktik politik kualitas-tinggi diharapkan mampu menolong dan menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran.[]

*) Danang Aziz Akbarona lahir di Magetan Jawa Timur, 27 Juni 1980. Lulus dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2004). Aktif sebagai learning partner pada lembaga konsultan pembelajaran Visi Learning and Consulting Jakarta. Telah menulis dua buah buku: Just Learn! and Life Wil Never be Same Again (Pustaka Nauka, 2003) dan Supaya Reformasi Tidak Mati Suri, et. all (Pustaka Nauka, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman