Kamis, 13 November 2008

Sekali lagi If you can dream it, you can do it! [03]

Oleh Danang A. Akbarona

Teman-teman, sengaja saya ulang-ulang menyebut kalimat indah yang terdengar sebagai teriakan yang menggerakkan itu. Sekali lagi, semoga ia bisa menjadi bagian dari proses diri kita menjadi manusia yang sesungguhnya (being human) dan menjadi manusia-manusia sukses (being success). Mimpi adalah strategi m e m u l a i d a r i a k h i r (beginning from the end)—mengutip Stephen Covey, penulis buku hebat The Seven Habits of Highly Effective People.

Dalam tulisan saya yang pertama tentang tema ini, telah terungkap keterkaitan yang seirama antara mimpi, berfikir besar, berfikir positif, imajinasi, dan visualisasi. Dalam bagian ini, saya akan menuliskan sejumlah kisah yang menakjubkan, hasil dari penguasaan kecerdasan yang satu ini.

Kuasai pikiran Anda.
Anda dapat melakukan apa yang Anda inginkan dengan pikiran tersebut.
-Plato, filusuf Yunani

James J. Mampes, dalam bukunya yang ‘serius’ Quantum Leap Thinking (IKON, 2003) memberi defenisi visualisasi—kekuatan yang membangkitkan gairah dan semangat perubahan—sebagai:

proses menciptakan sebuah film mental yang jelas, tajam, dan emosional atas apa yang Anda inginkan untuk terjadi, membayangkan berbagai peristiwa tersebut telah terjadi.

Visualisasi adalah sebuah latihan mental atas hal-hal yang akan terjadi. Visualisasi menjadi konsep baru yang penting bagi sebuah praktek lama.

Fortis Imaginatio Generat Causum
(Imajinasi yang kuat akan menciptakan peristiwa itu sendiri)

Dalam buku ini, ditampilkan beberapa studi kasus yang menegaskan bagaimana visualisasi dapat memberikan hasil-hasil yang cukup menakjubkan. Seorang pemain piano sekaligus mantan tawanan perang mengatakan bahwa dirinya berlatih bermain keyboard khayalan saat dia berada di penjara. Saat dia dibebaskan dia mampu memainkan piano seakan-akan dia baru saja berlatih. Seorang tawanan perang lainnya membayangkan dirinya bermain golf setiap hari di salah satu lapangan favoritnya. Setelah dibebaskan, dia mampu mencetak nilai terbaik dalam permainan golf.

Dr. Carl Simonton adalah orang yang pertama kali mempopulerkan istilah visualisasi, terutama setelah ia menggunakannya untuk pengobatan penyakit kanker. Dr. Simonton pertama kali menggunakan teknik ini pada tahun 1971 untuk mengobati pasien kanker tenggorokan. Kondisinya telah didiagnosa sebagai ‘tidak ada harapan’. Pasien berusia 61 tahun. Ia sangat lemah, beratnya turun drastis menjadi 45 kilogram, dan ia mengalami kesulitan untuk bernafas dan menelan ludahnya sendiri. Walaupun ia direncanakan untuk menerima pengobatan dengan sinar atau radiasi, para dokter menguatirkan bahwa penyinaran akan makin memperburuk kondisi tubuhnya.

Dr. Simonton membuat program relaksasi dan pencitraan untuk orang itu. Ia menyuruhnya meluangkan waktu lima sampai lima belas menit tiga kali sehari. Latihan pencitraan yang dilakukan berupa membayangkan radiasi seakan-akan ‘peluru-peluru energi’ menyerang semua sel baik yang sehat maupun sel-sel kanker. Ia harus membayangkan sel-sel sehatnya tetap sehat dan sel kankernya mati dengan cepat. Pasien kemudian memvisualisasikan kankernya mengerut dan kesehatannya kembali normal. Usai program ini, orang itu dapat menerima radiasi dengan rasa sakit yang minimal. Di tengah-tengah perawatan, ia mulai makan lagi dan mengalami kenaikan berat badan dan kekuatan. Dalam dua bulan kankernya hilang sama sekali.

Belakangan, teknik visualisasi ini pula yang sempat menjadi bahan pembicaraan di tanah air. Ketika sejumlah mahasiswa Psikologi UGM memenangkan Lomba Karya Cipta Ilmiah Mahasiswa 2003 dengan mempresentasikan penelitian bertajuk “Manajemen Kematian”. Sejumlah manula menjadi sampel penelitian ini. Dalam waktu sekian minggu, para manula ini diberi bimbingan rohani, termasuk penggunaan visualisasi bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti—karena semua orang pasti akan mati. Diantara treatment visualisasi yang diberikan, para manula tersebut diminta untuk membayangkan tempat-tempat indah sekian menit dalam satu hari, misalnya danau, gunung, atau hamparan rerumputan yang luas, hingga mereka merasa tenang. Intinya, para peneliti dari UGM ini mempersiapkan mental para manula dalam menghadapi kematian. Hasilnya, para manula yang mengikuti treatment ini terbukti lebih tenang, siap, dan tidak ada kekhawatiran yang berlebihan dalam menghadapi kematian. (tolong diklarifikasi kalo ingatan saya salah)

Satu lagi, cerita menarik yang selalu saya ingat dan saya sampaikan dalam beberapa kali diskusi dengan teman-teman saya, sebagai contoh tentang kekuatan imaginasi atau visualisasi. Cerita ini saya rekam dari pengantar buku Kecerdasan Milyuner.

Adalah Dr. Win Wenger dan Richard Poe yang menjelaskan The Einstein Factor untuk menggambarkan the power of imagination. Seperti kita tahu, Einstein pada masa kecil menderita dyslexia (sebagian menyebutnya autistik) yang menyebabkan ia terbelakang dalam pertumbuhan, bahkan sampai menginjak dewasa (anak kuliahan), Einstein dianggap sebagai ‘orang bodoh yang tak punya harapan’. Tetapi, di usia 26 tahun, ia berhasil menemukan dan menerbitkan teori Relativitas yang menakjubkan itu. Di dalamnya ia merumuskan teori yang terkenal E=mc2. Enam belas tahun kemudian ia memenangkan hadiah Nobel.

Tahukah Anda, apa jawaban Einstein ketika ditanya, bagaimana sampai pada teorinya, yang merupakan hukum fundamental jagat raya. Ia berkata, “I did not arrive at my understanding of the fundamental law of the universe through my rational mind”. Jika demikian, kalau bukan karena kecerdasan IQ-nya, apa yang menjadikan Einstein genius terbesar abad dua puluh?

Dalam catatan otobiografinya, Einstein menceritakan saat pertama kalinya ia memikirkan teori relativitas “Kira-kira seperti apa kalau kita berlari di samping pancaran cahaya, dengan kecepatan cahaya?” begitu dibayangkan Einstein. Ia juga membayangkan, ia mengendarai ujung berkas cahaya (light beam) sambil memegang cermin. Apakah ia melihat bayangannya dalam cermin. Menurut fisika klasik, jawabannya jelas. Ia tidak akan melihat bayangan dalam cermin, karena cahaya yang meninggalkan wajahnya harus bergerak lebih cepat dari cahaya supaya mencapai cermin. Einstein lebih mempercayai intuisinya daripada teori klasik itu. Dalam bayangannya, sangat lucu kalau kita memegang cermin dan tidak dapat melihat wajah kita di dalamnya. Einstein membayangkan jagat raya yang memungkinkan kita melihat wajah kita dalam cermin, walaupun kita mengendarai berkas cahaya. Dan teori relativitas-nya lahir!

Psikolog Robert Dilts, dengan mengumpulkan catatan tercecer dari Einstein, seperti surat-menyuratnya dengan Sigmund Freud dan Jacques Hadamard dan wawancaranya dengan Max Wertheimer, menemukan: “Einstein menyatakan bahwa ia berfikir terutama dengan menggunakan citra visual dan perasaan... Ungkapan pikirannya dalam bentuk verbal dan matematis baru datang setelah pemikiran kreatifnya yang penting sudah selesai.” Kepada Max Wertheimer, Einstein berkata, “These thoughts did not come in any verbal formulation. I very rarely think in words at all.” (seperti diuraikan oleh Jalaluddin Rakhmat dalam Kata Pengantar Kecerdasan Milyuner (Ahaa, 2003)

Bagaimana teman, hebat kan, kekuatan imaginasi!? Makanya, kalau kita dianggap bodoh, kurang dalam hal-hal tertentu, justru kita harus membayangkan kita adalah “orang hebat”, kita bisa seperti orang-orang hebat yang kita kagumi. Ada satu film bagus, yang pernah saya tonton, untuk menggambarkan kekuatan imaginasi dapat meningkatkan prestasi—seperti yang kita mau. Film ini berjudul Band it Like Backham. Film ini menceritakan seorang gadis India yang sangat mengidolakan David Backham (icon sepakbola yang sekarang memperkuat Real Madrid), padahal bermain bola bagi anak gadis sangat tabu di India. Namun, karena ia benar-benar memvisualisasikan selalu dirinya ‘like’ Backham, ia mampu melewati segala rintangan, hingga mengantarkannya kepada puncak prestasi sepak bola wanita dalam satu pertandingan akbar yang digelar.

Yang menjadi masalah, biasanya, adalah apakah Anda percaya pada kekuatan visualisasi atau memilih untuk mengacuhkannya?. Jawabannya adalah pada konstanta diri kita dalam melakukannya. Hidup adalah hasil dari bagaimana kita berpikir. Sebuah gambaran mental menciptakan tanggapan yang sesuai dengan gambaran tersebut. Menurut Stephen Covey, secara hampir tidak sadar, dan hampir otomatis, kita senantiasa membuat penciptaan mental sebelum melakukan sesuatu. Saat kita ingin pergi bekerja, misalnya, secara otomatis kita akan membayangkan situasi perjalanan, apa yang akan dilakukan di kantor, dan seterusnya.

Sesungguhnya, kita dua kali melakukan penciptaan, yaitu penciptaan mental dan penciptaan nyata. Dengan menyadari ada dua penciptaan itu, kita dapat merancang penciptaan mental dengan baik. Pikiran-pikiran yang kuat akan menciptakan perilaku yang kuat. Pikiran negatif akan menciptakan perilaku negatif. Coba Anda bayangkan, bagaimana jika visualisasi itu dilakukan secara konstan, terus-menerus, setiap saat. Apa yang terjadi? Otak bawah sadar kita akan secara reflek bergerak sesuai dengan penciptaan visual itu.

Ada seorang teman saya yang selalu ingin dipersepsi, difahami, dan dicitrakan sebagai ‘si baik hati’. Saya baca di sejumlah phone book teman-teman saya yang lain, nomor teman saya ini tertuliskan nama ‘si baik hati’. Saya katakan ketika menuliskan testimonial untuknya dalam situs-bersama Friendster, “ini bagus, karena pikiran positif akan membentuk perilaku positif dan akhirnya membangun karakter positif”.

Teman, melakukan visualisasi tidaklah susah. Buat saya, yang dibutuhkan adalah ketenangan, fokus pada tujuan, dan konsistensi dalam melakukannya—kapan saja, dimana saja, dan pada saat apa saja. Dengan demikian,

Kita telah menciptakan kesuksesan sebelum ia hadir
Dan, ketika kesuksesan itu hadir, kita sudah menciptakan kesuksesan berikutnya, dalam pikiran kita

Marcus Aurelius Antonius, kaisar Romawi tempo dulu mengatakan, A man’s life is what his thoughts make of it

Para psikolog mutakhir menegaskan,

You don’t think what you are. You are what you think.
Salam hangat,
Danang A. Akbarona

Learning Partner pada Visi Learning and Consulting Jakarta Penulis Buku Just Learn! and Life Will Never be Same Again (Pustaka Nauka, 2003), Agar Reformasi Tak Mati Suri, et. All (Pustaka Nauka, 2004) Dapat dihubungi lewat, danang_az@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman