Kamis, 13 November 2008

Pendidikan Awal ‘Economics of Corruption’

Oleh: Kusuma Andrianto

(Resensi buku: Teaching Integrity to Youth: Examples from 11 Countries)

Umar, seorang guru di sebuah kota kecil di Pulau Sumatra beberapa waktu yang lalu dengan setengah bercanda menceritakan sebuah kisah menarik kepada penulis tentang pengalamannya mengajar. Mengapa sebuah cuplikan episode percakapan Umar dengan Penulis ini signifikan untuk disimak, paling tidak ada dua alasan utama.

Alasan pertama adalah karena Umar, tokoh pendidik kita ini merupakan contoh klasik kehidupan seorang guru di Indonesia. Hidupnya sangat sederhana, kalau tidak mau dikatakan miskin. Gajinya dipotong untuk ini-itu yang serba tidak jelas. Alhasil, Umar harus ngobyek mengajar les privat di sana-sini untuk mencari tambahan penghasilan. Patut dipuji, Umar bersikap untuk anti korupsi!

Namun yang menarik adalah - tentu saja ini sangat insidentil - nama lengkapnya adalah Umar Bakri!. Memang semata ini adalah unsur kebetulan, namun nama lengkap tokoh kita ini sangat mirip dengan judul sebuah lagu yang pertama kali populer di era 80-an, berisi balada kehidupan seorang guru yang bernasib malang.

Alasan kedua, Umar mengungkapkan ‘uneg-uneg’ tentang betapa sulitnya menjawab pertanyaan salah seorang siswa yang menanyakan apa yang dimaksud dengan istilah ‘korupsi waktu’. Si murid bertanya polos, “Apakah membolos atau terlambat masuk kelas, seperti perilaku kebanyakan siswa maupun guru sekolah dasar tempat Umar mengajar dapat digolongkan ke dalam korupsi waktu? Apakah hukuman yang layak diterima pelaku?”

Sebuah pertanyaan dilematis memang. Umar tidak bercerita lebih jauh jawaban apa yang diberikannya kepada siswa kritis tersebut. Mungkin karena dia tidak ingin jawabannya malah justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Umar memang kadang terlambat datang ke sekolah karena dia baru saja selesai mengajar privat di tempat lain yang memang letaknya agak jauh. Alasannya sederhana, kalau dia memilih tempat mengajar yang dekat-dekat, akan mudah diketahui orang.

Alasan lain mengapa Umar tak ingin mengulas istilah ‘korupsi waktu’ dengan panjang-lebar adalah karena dia tak ingin berpolemik dengan siswanya tersebut. Takut bila ditanya lebih jauh apakah anggota legislatif yang membolos atau terlambat datang sidang dapat juga dikatagorikan sebagai korupsi waktu.

Indonesia dan Korupsi Dunia
Pengalaman unik umar ini mungkin bisa menjadi kontribusi tersendiri bagi buku ‘Teaching Integrity to Youth – Examples from 11 Countries’ yang diterbitkan oleh Transparency Internation bulan Februari 2005 ini.

Komitmen lembaga nirlaba Transparency International terhadap pemberantasan korupsi memang patut dipuji. Berbagai cara dan kegiatan dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat internasional untuk mencegah korupsi yang semakin merajalela di mana-mana.

Transparency Internasional memiliki cabang-cabang di berbagai negara. Masing-masing insitusi tersebut memiliki kesibukan yang cukup tinggi. Penyelenggaraan berbagai seminar dan simposium, pengelolaan situs internet dan layanan SMS yuang menyorot berita korupsi, termasuk tentu saja publikasi dan penerbitan, adalah beberapa contoh kegiatan rutin yang ditekuni lembaga-lembada dibawah payung Transparency International. Tujuannya tidak lain adalah meningkatkan ‘kewaspadaan’ masyarakat agar semakin proaktif menyuarakan semangat anti-korupsi.

Suatu terobosan yang tidak ada salahnya ditiru, bahkan bila perlu dikembangkan dalam skala yang lebih besar. Khusus bagi negara yang berada dalam katagori rawan korupsi seperti Indonesia, penerbitan buku-buku yang memberikan pemahaman seluk-beluk korupsi sejak usia dini sudah sewajarnya menjadi prioritas utama.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Tanyakan pada masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri. Sedemikian besarnya sorotan dunia terhadap penyelewengan dan korupsi, sehingga tidak jarang masyarakat profesional Indonesia yang berada di luar negeri butuh ‘kerja keras dua kali lipat’ untuk meyakinkan sesama kolega bahwa mereka tidak korupsi. Susah memang, karena cap sebagai negara terkorup tidak mudah dihilangkan begitu saja.

Ibarat gayung bersambut, dengan diterbitkannya buku pendidikan anti korupsi ini, diharapkan anak-anak dapat mempelajari sejak usia dini tentang apa yang dimaksud dengan ilmu ekonomi anti korupsi.

Meningkatkan ‘Awareness’
Ambil contoh misalnya pengalaman negara Kamboja (Integrating Anti-Corruption into School Curricula, hal. 53-59) yang mengintegrasikan pendidikan anti-korupsi ke dalam kurikulum pendidikan di negara tersebut. Mirip dengan pengalaman Amerika Serikat (Ethics at School: A Model Programme, hal. 38-44) dan Italia (Taking Anti-Corruption Heroes into Schools, hal. 25-29). Tulisan tentang tiga negara yang masing-masing mewakili tiga benua yang berbeda ini, Asia, Amerika, dan Eropa, menunjukkan betapa kewaspadaan akan bahaya korupsi memang seyogyanya diusahakan sejak usia dini peserta didik.

Tidak ada salahnya kita melihat sedikit lebih jauh pada negara Italia, salah satu negara Eropa yang terkenal ‘keras’ dalam mengatasi kejahatan. Terobosan dunia kependidikan di negara Italia terjadi sejak beberapa tahun sebelumnya. Sedemikian jengkelnya masyarakat Italia dengan perilaku kejahatan terorganisasi (yang biasa dikenal dengan istilah ‘mafia’), otoritas pendidikan Italia memutuskan untuk memasukkan mata pelajaran seputar kejahatan terorganisasi ke dalam kurikulum. Alasannya, karena seluk-beluk perilaku mafioso adalah persoalan seluruh lapisan masyarakat, mengapa tidak sebaiknya masyarakat diajak sekaligus terlibat langsung, yakni lewat pendidikan?

Tulisan selanjutnya yang tak kalah menariknya adalah betapa kegiatan anti korupsi dapat dilakukan dalam bermacam bentuk dan nyaris tak terhingga, tergantung kreativitas penyelenggara. Georgia dan Uganda menggunakan media jurnalisme, sementara Moldova memilih program pelatihan atau training. Sebagai salah satu negara Eropa Timur bekas Negara Serikat Rusia, Georgia membuktikan kembali ketajaman pena (Youth Against Corruption: A National Essay Contest, hal.45-52) yang memang harus diasah sejak usia muda. Demikian pula halnya dengan Uganda dengan program pendidikan wartawan usia belia (The Power of Information, Training Young Journalists, hal 60-73). Cerita mengenai pengalaman unik bagi pemudi-pemuda Moldova memiliki daya tarik tersendiri, saat mereka berpartisipasi dalam sebuah kegiatan training sehari penuh (An Anti-Corruption Day in a Youth Camp, hal.74-80).

Brazil, Zambia, dan Kolombia berusaha mengenalkan dunia ekonomi, pendidikan global dan kepemerintahan lewat Where Your Taxes Go: Fiscal Education for Citizenship (hal 11-16), Working With Universities: The Cátedra Programme (hal.17-24), dan Educating Future Leaders: Good Governance in Schools (hal. 30-37).

Sebagai cinderamata khusus, oleh-oleh dari Argentina yang berujudul Aulas Sin Fronteras: A National Contest (hal.66-73) dan Makau: Mr Pig and Superman William: Ethics Education for Primary Pupils (hal.5-10) yang sarat inspirasi dan gurih tanpa sadar membuat kita membaca sambil tersenyum-senyum sendiri.

Buku setebal 84 halaman ini sarat dengan foto, gambar, dan ilustrasi karya-karya asli siswa. Tidak pelak lagi, kumpulan tulisan berkaliber dunia ini merupakan materi yang sangat berguna bagi pendidikan anti korupsi dan untuk meningkatkan kepedulian kanak-kanak sejak usia dini.

Ilmu Ekonomi (Anti) Korupsi
Sudah selayaknya lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia menaruh satu buku ini di perpustakaan mereka. Ini berguna sekali untuk memberikan gambaran pada siswa sejak kecil bahwa pendidikan anti korupsi itu memang penting.

Selanjutnya, Indonesia memiliki pekerjaan besar, yakni bagaimana caranya mengintegrasikan ‘Economics of Corruption’ ke dalam kurikulum pendidikan. Penulis bukan seorang ahli bahasa, jadi mari kita serahkan kepada pakar untuk mencari istilah yang tepat untuk ‘Economics of Corruption’. Kalau terjemahannya kacau, ‘Economics of Corruption’ jangan-jangan bisa disalahkaprahkan dengan mempromosikan korupsi. Wah!, bisa celaka bangsa ini!

Penulis sendiri punya rencana khusus dengan ‘Teaching Integrity to Youth – Examples from 11 Countries’ ini. Sebagai kado istimewa untuk – siapa lagi kalau bukan – tokoh kita Umar Bakri yang disebutkan di bagian awal tadi. Sambil lalu, penulis berusaha menerjemahkan sedikit demi sedikit, agar Umar tidak usah bersusah payah mencari kamus – Umar terlalu sibuk mencari tambahan penghasilan, agar tidak korupsi, katanya.

Setuju!

Kita mahfum bahwa Umar memang tidak punya waktu lagi untuk kursus bahasa Inggris tingkat lanjut. Harapan kita, mudah-mudahan setelah membaca buku ini, Umar sanggup menjawab pertanyaan muridnya tadi dengan lebih lugas.

*Kusuma Andrianto Peneliti Leeds University Business School, Leeds, Inggris. Artikel ini pernah dimuat di harian Kompas, Minggu, 13 Maret 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman