Kamis, 13 November 2008

Memori




Cerpen oleh Thera

Kekasih… izinkan aku memanggilmu seperti itu, karena waktuku tidak lama untuk menikmati saat-saat seperti ini. Aku bisa merasakan kakiku yang membeku. Aku bisa merasakan nafasku yang memburu.
Sampai kapan aku harus menyimpan dusta, sayang? Aku tertawa dan menunjukkan wajah bahagia di depan semua orang, tapi apa yang disampaikan barisan kata-kata di dalam buku puisiku tak seperti wajahku yang munafik. Kekasih, sampai kapan aku harus diam-diam menangis di malam hari, hanya karena namamu tak dapat berhenti sedetik pun menggema di benakku yang kosong. Seandainya saja memori itu hilang… seandainya saja aku tak menyimpan segala kenangan kita dalam-dalam, seandainya saja kita tidak pernah bertemu… maka kita tidak pernah jatuh cinta…
Masih ingat? Saat itu langit malam kota Jakarta yang penuh asap polusi seolah mengintip sedikit dan meneteskan tangisan kecil di saat kita pertama kali sadar atas serangga mungil bernama cinta menggelitik dada. Hanya dengan tatapan matamu, sayang… aku terbius.
Hari ini kembali malam, sayang. Persis seperti ketika itu, saat itu kau masih mengenakan kaca mata minus tiga dan rambutmuh masih belah tengah. You were still a nerd.
Kau seperti kupu-kupu, sayang… Metamorfosamu begitu indah. Apa yang orang lain lihat dari dirimu sekarang tidak seperti aku ketika melihat dirimu dulu. Untuk apa aku mencintai kupu-kupu yang begitu cantik tanpa mengetahui metamorfosanya yang mengagumkan. Aku boleh berbangga, karena aku mencintaimu sebelum kau bermetamorfosa. Bukan hanya perilakumu yang membuai yang membuatku jatuh cinta, tetapi tatapan tajam dari sepasang mata di balik kaca mata minus tigamu yang sampai saat ini masih menancap di dadaku. Aku berbeda dengan gadis-gadis yang mencintaimu saat ini, mereka yang baru mengenalmu kurang dari tiga tahun. Aku mencintaimu apa adanya, aku juga mencintai metamorfosamu.
Otakku masih menyimpan memori itu. Meja biru di belakang sekolah, di sana kau utarakan isi hatimu. Kau masih begitu lugu, begitu kekanak-kanakan. Tidak jauh beda dengan diriku. Aku masih boleh berbangga, sebagai gadis pertama yang mengenal cintamu. Tahu apa kita tentang cinta? Orang dewasa boleh berpendapat seperti itu, karena mereka tidak tahu apa yang sedang kita alami, sayang.
Semua itu begitu jelas kekasihku, seolah baru saja ditulis dengan tinta permanen… meskipun sudah bertahun-tahun masa-masa indah itu berlalu. Mereka seperti prasasti, sayang. Semakin dimakan usia semakin berharga keberadaannya. Memori tentang dirimu adalah harta karunku.
Metamorfosamu… terekam sangat jelas. Bagaimana tubuhmu bertambah semakin tinggi, bagaimanana kharismamu semakin terpancar, bahkan aku dapat melihat auramu yang menyilaukanku.
Kekasih… apakah kau percaya cinta sejati hanya datang sekali seumur hidupmu? Karena bila ya, aku takkan pernah dapat mencintai siapa pun lagi. Aku sudah mencoba sayang, mencoba mencintai. Tapi yang kudapatkan adalah kasih erotis yang menggairahkan, bukan cinta tulus seperti yang kudapat darimu.
Seorang peramal tarot berkata bahwa aku hidup dalam lingkaran karma. Inikah karma itu, sayang? Apakah karena aku kurang menghargai cintamu maka Tuhan menghukumku seperti ini? Apakah Tuhan menghukumku dengan membuatku mencitaimu seumur hidupku?!
Hari-hari di mana kita berpisah adalah neraka duniaku. Hari-hari tanpamu adalah siksaanku. Aku masih mengingatnya dengan jelas, sayang… sejelas ciuman pertama kita. Aku masih mengingat dengan jelas tangisanmu yang pedih yang menyentuhku melalui kabel telepon, memohon diriku tuk kembali. Aku pun masih merasakan tangisanku yang pilu ketika mengingatmu di malam hari, sebelum aku terlelap… Sampai saat ini, sayang… aku masih sering menangis.
Aku lelah menyimpan dusta ini sayang. Bertindak seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi pada diriku. Berakting dalam kehidupanku sendiri. Berakting seolah-olah apa yang kulakukan adalah hal yang wajar… padahal, aku membakar tubuhku perlahan-lahan. Aku tidak menyesal meninggalkan dirimu, tapi aku menyesal untuk tidak memberimu kesempatan kedua.
Ironis memang… aku menyadari sebagian dari diriku ikut hilang ketika kau menghilang. Bukan ini yang sesungguhnya kuinginkan. Bukan gairah hidupku yang ingin kutinggalkan. Bukan berarti kuingin meninggalkanmu, tetapi aku harus meninggalkanmu. Dadaku perih, sayang. Aku luka parah. Tajam dan menusuk.
Kadang-kadang aku memaki Tuhan, sayang… Bila memang kita tidak diciptakan untuk saling mengisi, bila memang kau bukan diciptakan untukku, tetapi mengapa Tuhan mempertemukan kita? Mengapa Tuhan membuatku jatuh cinta? Dan mengapa kita harus berbeda?
Kekasih, seandainya saja kau tahu masa-masa di mana aku dihantui olehmu… Aku sungguh tersiksa. Ketika mencium pacarku yang kurasa dan kubayangkan adalah bibirmu yang lembut. Kau menyiksaku… Memori ini menyiksaku, sayang… tetapi tetap berharga.
Sungguh aku ingin melupakanmu… seandainya saja aku dapat amnesia, melupakan segalanya tentang dirimu, maka aku tak dapat terganggu. Aku dapat kembali belajar mencintai lagi… Aku dapat memulainya dari awal lagi. Ah… betapa sulitnya membencimu… betapa beratnya mencintaimu.
Seandainya saja manusia tidak dikotak-kotakkan dengan apa yang mereka sebut kepercayaan, apa yang mereka sebut agama, mungkin kita masih dapat melihat cahaya di antara kita.
Sayangku… kekasihku… kenapa kita dilahirkan sebagai manusia? Kenapa kita tidak dilahirkan sebagai binatang saja? Seandainya kita dipertemukan sebagai kupu-kupu, mungkin kita masih dapat bersama tanpa harus merasakan perselisihan dengan adanya perbedaan. Dilahirkan sebagai apa pun aku kan bersyukur, asalakan aku bisa bertemu dengan dirimu.
Kekasih… aku ingin sekali lagi melumat bibirmu yang hangat, membiarkanmu menelan jantungku, karena dengan begitu aku bisa bersatu denganmu dan hidup dalam tubuhmu. Masih adakah tempat bagiku di hatimu?
Dalam kehampaan aku mendengar bahwa kau kini sudah menemukan kehidupan, kau kini sudah mempunyai penggantiku yang mungkin saja lebih cantik, lebih baik, lebih pintar, lebih ini…, lebih itu…
Ah… sudahlah, toh kau memang tidak diciptakan untukku. Seandainya saja hidup semudah itu… Terpujilah Tuhan karena kau telah menemukan kehidupanmu. Aku masih tersesat dalam teka-teki yang kubuat sendiri, dalam kabut tebal yang mengelabui pengelihatanku. Aku selalu terjebak dalam bendungan memori tentang kita.
Seperti apa gadis itu, sayang? Sampai saat ini pun aku belum melihatnya. Siapa pun dia, aku kan selalu mendoakanmu… Namun maafkan aku bila menangis dalam doaku. Aku tetap tulus. Aku ingin kamu bahagia.
Aku tetap berharap, sayang… aku berharap masih ada tempat untukku di setiap sudut hatimu. Walaupun aku harus terpencil dan nyaris tak terlihat, aku tetap ingin menjadi bagian dari dirimu. Merasakan setiap tawa tangismu, hembusan nafasmu, detak jantungmu, bahkan setiap gerak yang kau buat. Aku tidak keberatan meski harus melihat keberadaan perempuan yang kau cintai itu ada di setiap denyut nadimu, dan bayangku hanya akan duduk tenang di setiap sudut hatimu.
Oh sayang… sungguh waktuku hanya tinggal sebentar, izinkan aku meneruskan serpihan kata-kata dalam bisikmu. Aku bisa melihat lilinku mulai memadam. Cahayanya mulai temaram.
Meski hanya memori tentangmu yang kumiliki, semua itu cukup untuk mengisi hampir semua lembaran hidupku. Seandainya saja aku masih mempunyai tenaga… aku hanya ingin berada di sisimu sebentar lagi… dan sesaat lagi aku siap menghilang.
Izinkan aku berbaring sejenak di sebelahmu, sayang. Wajah polosmu tampak kekanak-kanakan ketika kau terlelap di dalam mimpi. Sungguh polos, lucu sekali. Bukankah di setiap diri kita ada jiwa kekanak-kanakan? Bukankah Tuhan menyuruh kita untuk berhati sepolos anak-anak untuk mendapatkan kunci kerajaan surga? Sepertinya aku begitu jauh, sayang… Aku pun merasa diriku semakin jauh darimu meskipun aku sedang berbaring di sisimu saat ini.
Maafkan aku. Ini adalah yang terakhir kalinya aku memohon maafmu, atas segalanya yang telah aku lakukan. Aku telah mendapat ganjarannya, karena melakukan justifikasi atas sesuatu yang salah. Seharusnya aku tak perlu berbohong untuk meninggalkanmu.
Karma ini sudah cukup menyiksaku dan kini sudah saatnya aku pergi. Aku tidak akan mengganggumu lagi dengan semua puisi-puisi cinta yang kutulis untukmu. Kini kau dapat terus melanjutkan hidupmu, menikah dengan perempuan yang kini kau cintai itu. Aku sudah cukup bahagia. Aku takkan lagi menghalangi jalanmu… Aku pun lelah bila selalu dihantui dirimu… Aku pun lelah menghantui dirimu.
Masih ada waktu yang tersisa. Kekasih, inilah bisikan dariku yang terakhir. Pesanku yang terakhir… Walaupun aku menghilang, ingatlah selalu diriku, dan semua memori tentang kita.
Kekasih..., aku lelah…
Aku sudah lelah… lelah meniti jejakmu, lelah mendaki hidupmu. Aku lelah mencarimu di antara detak-detak jantung yang maya. Karena keberadaanmu tak pernah kutemukan lagi, namun satu nyanyian merdu tentangmu abadi mengalun di hatiku.
Seseorang yang sejak tadi menungguku sudah memberi tanda, kini aku harus pergi, sayang. Ia sudah tak dapat menunggu lebih lama lagi, atau pintu itu akan tertutup. Selamat tinggal, sayang… kali ini untuk selamanya, semoga hidupmu bahagia… dan… selamat tinggal.
Aku mencintaimu… dalam setiap detik di waktuku yang singkat ini. ***
“Mama…”.
“Kenapa, pa?”.
“Aku mimpi itu lagi”.
“Mimpi itu lagi?”.
“Laura, dia datang ke mimpiku lagi…”.
“Papa… sudahlah… sudah hampir setahun berlalu, dan kau masih menyalahkan dirimu atas kematian Laura?”.
“…”
“Ah… sudahlah… lupakan saja. Kembalilah tidur sayang, besok pagi ada meeting kan? Ingat sayang, dia yang membunuh dirinya sendiri, bukan kamu yang membunuhnya…”.
“Seandainya saja aku bisa lupa, Ma”.
Oh kekasih... Hilang sudah keberadaanku... Tak ada lagi diriku kini…

Jakarta, 19 Februari 2004


Profil: lahir di Jakarta, 14 Januari 1985. Selepas dari SMU Labschool Jakarta, gadis yang lebih dikenal dengan panggilan Thera ini memperoleh PMDK untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia, Jurusan Sastra Inggris. Selain kuliah, di usianya yang masih sangat belia ini ia juga berkerja sebagai wartawan majalah “Behind The Screen”.
Semasa SMU ia sangat aktif di berbagai organisasi baik di dalam maupun di luar sekolah. Ia juga menjuarai beberapa kompetisi debat bahasa Inggris tingkat nasional. Thera mengenal buku sejak mengenal aksara. Ia mulai menulis sejak duduk di bangku SD. Menurutnya, itu hanya untuk dirinya sendiri. Thera sadar akan kecintaannya pada dunia tulis-menulis dan memutuskan menjadikannya sebagai ‘jalan hidup’.
Selain berminat di bidang seni, sastra, dan budaya, Thera sangat mengagumi hasil karya Tuhan dalam menciptakan karakter manusia yang beraneka ragam. Sebelumnya ia mempunyai masalah dalam kalau diminta menunjukkan karya-karyanya pada orang lain. Menurutnya, tulisan-tulisannya bersifat sangat pribadi dan langsung dari hati. Ia biasa menulis puisi tanpa mengeditnya atau mempertimbangkan nilai-nilai estetika yang konvensional. Ia hanya membiarkannya tumpah begitu saja secara mentah dari hatinya. Keberaniannya untuk memuat karya-karyanya di Pembelajar.Com merupakan terobosan baru dalam menghadapi masalahnya ini. Puisi-puisinya juga dapat ditemui di mailing list sastra seperti bungamatahari dan the toilet.
Hidup dalam masa ‘pencarian jati diri’, Thera masih meraba-raba ‘aliran’ atau ‘gaya menulis’ yang akan dianutnya. Ia sangat mengagumi penulis gothik semacam Edgar Allan Poe atau penulis-penulis dalam negeri seperti Remi Sylado, Dewi Lestari, Supartobrata, dan Ayu Utami. Menurutnya, sastra dalam negeri mempunyai nilai yang jauh lebih indah daripada karya asing manapun.
Saat ini Thera tinggal di Bekasi bersama dua ekor anjing pomerian, seorang kakak laki-laki, dan kedua orang tuanya. Thera dapat dihubungi melalui email: thera_withlove@hotmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman