Kamis, 13 November 2008

Memulai Bisnis Tanpa Modal, Mungkinkah?



Oleh V.P. Purnomo


“Buku Rich Dad Poor Dad karya Kiyosaki memang bagus. Namun, ada beberapa hal yang tidak mungkin dipraktekkan di Indonesia. Misalnya, tentang pembelian rumah tanpa mengeluarkan uang dari kantong sendiri sama sekali”, tulis teman saya dalam e-mailnya.

Siapapun pasti mengenal nama Robert T. Kiyosaki dan bukunya, Rich Dad Poor Dad. Bukunya yang laris terjual dan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa itu seakan-akan menjadi bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin berwirausaha. Penulis sendiri mempunyai tiga buku dari sekitar 10 judul buku yang ditulis oleh Pak Kiyosaki ini.

Salah satu pelajaran dari buku tersebut adalah kemungkinan mempunyai usaha sendiri tanpa mengeluarkan uang dari kantong sendiri. Kiyosaki mencontohkan dengan usaha propertinya, mulai dari penemuan rumah yang hendak dijual, biaya pengurusan yang didapat dari pinjaman atau calon pembeli sampai penutupan transaksi dan pengembalian pinjaman. Semuanya tampak begitu mudah dan menggiurkan.

Namun, seperti halnya memandang segala sesuatu yang tampak begitu mudah, kita menjadi bersikap skeptis dan mulai mempertanyakan, “Apa iya semudah itu ?”. “Pasti ada sesuatu yang belum diceritakan oleh Kiyosaki”, begitu mungkin pikiran kita. Benarkah ada yang disembunyikan oleh Kiyosaki ?.

Di kala pikiran penulis sedang diliputi pikiran untuk mendapatkan modal bagi usaha yang direncanakan oleh penulis, penulis mendapat undangan dari seorang teman yang kebetulan ingin tahu dan tertarik untuk ikut serta dalam usaha yang penulis tawarkan. Teman ini adalah salah seorang pemilik usaha jasa konsultasi bisnis yang cukup besar di Surabaya.

Setelah kita berbincang-bincang dan mempresentasikan usaha yang penulis rencanakan, teman tersebut menceritakan pengalamannya berbisnis ketika ia masih mahasiswa. Ia bercerita:

“Ketika saya mahasiswa, saya punya usaha dagang komputer. Awalnya, saya mendapat tawaran untuk pengadaan komputer sebanyak 100 komputer. Setelah saya buat kesepakatan dan berbekal uang 1 juta, saya langsung pergi ke toko komputer dan bilang pada pemilik tokonya : ‘Begini, Pak, saya ini punya usaha komputer dan omzet usaha saya ini adalah 100 komputer per bulan. Bapak bisa ndak menyediakan komputer sebanyak itu dengan harga yang murah. Dan saya minta pembayaran secara mundur’. Si pemilik toko setuju, kesepakatan terjadi dan 1 juta saya masih utuh. Dari transaksi ini, setidaknya saya untung 100 juta”.

Saya hanya mendengarnya sambil terngiang-ngiang dalam pikirannya saya dengan pelajaran Kiyosaki.

Berawal dari cerita teman saya itu, saya menemukan kisah-kisah lain yang seakan membenarkan pelajaran Kiyosaki.

“Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Abdurrahma bin Auf, ketika berhijrah (pindah, red.) dari Makkah menuju ke Madinah, beliau tidak membawa bekal apapun. Seorang penduduk Madinah yang baik kemudian menawarkan sebidang kebun kurma untuk dikelola. Namun, Abdurrahman bin Auf menolaknya dan hanya meminta ditunjukkan jalan menuju ke pasar. Disanalah, Abdurrahman bin Auf berusaha dengan berjualan. Begitu sukses usahanya, sehingga ketika terjadi peperangan melawan kaum kafir, beliau menyedekahkan begitu banyak unta untuk tentara Muslim” (Malu Menjadi Benalu, KH. Abdullah Gymnastiar, 2003).

“Tidak ada yang pernah membahas bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW adalah seorang wiraswastawan. Memulai dari penggembala kambing pada usia 8 tahun hingga menjadi pedagang yang melakukan perjalanan luar negerinya yang pertama pada usia 12 tahun, Nabi tumbuh menjadi pedagang yang sukses. Setelah melakukan 18 kali perjalan ke luar negeri, pada usia 25 tahun, beliau menikahi Siti Khadijah r.a. dengan mahar (maskawin, red.) 20 ekor unta muda. D Indonesia, rasanya tidak pernah ada yang memberi mahar sebesar itu”, (KH. Abdullah Gymnastiar, 2003)

Sebelumnya, penulis mohon maaf jika ada pembaca yang merasa seakan-akan penulis mengagungkan agama tertentu dengan kedua kisah itu. Penulis hanya menceritakan sebuah kisah yang moral story-nya cocok dengan tema yang kita bahas, dan kebetulan kedua kisah tersebut berhubungan dengan agama tertentu.

Sebenarnya, jika dirunut, ada banyak kisah serupa yang membuktikan pelajaran Kiyosaki itu. Purdie Chandra, bos Primagama, memulai usaha dengan modal 100 ribu rupiah. Andrie Wongso memulai usaha kartu ucapannya dari uang yang didapat dari mengajar kungfunya (Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah, Edy Zaqeus, 2004). Steve Jobs, CEO Apple, memulai usahanya dari garasi rumahnya tanpa modal sama sekali. Bill Gates memulai usahanya dari asrama dan kantor pertamanya adalah sebuah hotel murah tempat mesum (Pirates of Silicon Valley). Sederet nama dan kisah tidak akan cukup untuk ditulis di media ini.

Baiklah, kita percaya bahwa sangat mungkin untuk mempunyai usaha sendiri tanpa modal apapun. Dan boleh jadi, pendapat teman saya dalam e-mailnya adalah salah. Tapi, timbul dalam benak kita pertanyaan, “Dari mana memulainya ?”.

Si Ayah Kaya Kiyosaki mengajarkan bahwa “pikiranlah yang menjadikan seonggok batu menjadi sebongkah emas”. Artinya, dengan hanya berpikir, Anda dapat mengubah berbagai peluang yang melintas didepan Anda – entah itu peluang bagus atau jelek – menjadi sebuah potensi yang menguntungkan. Jadi, jika Anda ingin mempunyai sebuah usaha tanpa mengeluarkan modal, berpikirlah !.

Artikel ini saya tutup dengan sebuah pesan dari Bob Sadino berpesan, “Sebagian besar orang berpikir bahwa yang namanya modal itu pasti uang. Padahal, modal bentuknya bisa macam-macam. Kaki, tangan, dan pikiran pun bisa menjadi modal”.

* V.P. Purnomo, sarjana komputer dari Surabaya. Sudah berpengalaman dalam dunia ICT (Information and Communication Technology) selama 6 tahun, sebagai programmer dan system analyst. Bosan mengetik kode program, saat ini sedang tertarik untuk menjadi penulis, dan sedang menjadi murid dari Edy Zaques. Hasil tulisan arek Suroboyo ini sebagai bukti implementasi pelajaran pertama dari sang guru, yaitu menulis cepat. Ia dapat dihubungi melalui email: vita.prihatoni.p@telkom.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman