Kamis, 13 November 2008

SENI BUDAYA DAN TRADISI LUHUR

Oleh: Joshua W. Utomo

Salah satu seni-budaya warisan nenek moyang kita yang dulu sangat populer dan dinanti-nanti kehadirannya oleh masyarakat baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan: kesenian Wayang Kulit kini tampak berjuang keras mempertahankan eksistensinya. Lambat laun jumlah penggemarnya pun mulai berkurang, tak sebanyak dulu lagi. Memang ada banyak faktor penyebab berkurangnya animo masyarakat terhadap seni Wayang Kulit ini, salah satunya adalah munculnya dunia hiburan produk asing yang telah menjarah seluruh pelosok wilayah di Indonesia ini.

Tak hanya di kota-kota metropolitan bahkan di dusun-dusun terpencil pun sudah bisa kita rasakan pengaruh Power Rangers, Pokemon, Terminator, Rambo, Superman, Batman dan sebagainya, menggantikan kehadiran tokoh-tokoh pewayangan seperti Puntadewa, Werkudoro, Janaka, Sri Raja Kresna, Sang Panakawan-Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, dan seterusnya. Anak-anak kita kini tampaknya lebih familiar dengan nama-nama super-hero asing itu daripada nama-nama tokoh pewayangan atau cerita rakyat negeri sendiri.

Anak-anak kita itu (juga sebagian dari kita) kelihatannya merasa lebih sreg, modern dan bonafide bila bisa mengikuti perkembangan dunia super-hero produk asing itu. Mereka pun tampaknya bangga sekali kalau memiliki nama dan atribut yang digunakan oleh super-hero asing itu. Sebaliknya mereka akan berkerut tak mengerti atau malah mungkin menolak mentah-mentah ketika diperkenalkan dan diajak rembugan atau nonton sajian Seni Wayang Kulit yang notabene produk negeri sendiri dengan segala keindahannya itu.

Sungguh amat disayangkan bila anak-anak kita, generasi penerus seni-budaya dan tradisi kita sudah mulai tidak mengenal dan tak-peduli lagi pada seni-budaya dan tradisi luhur (pen: tradisi yang luhur saja, lho!) nenek moyang yang tercipta, tumbuh dan berkembang melalui sebuah proses panjang dan tak mudah itu. Sepertinya sinyalemen adanya sikap-sikap ketidak-pedulian dan ketidak-mauan anak-anak kita untuk mengenal, menggali, dan mempelajari seni-budaya dan tradisi luhur itu bukanlah sesuatu sikap yang mengada-ada atau ketakutan yang tak beralasan.

Di saat yang seperti ini, sungguh tidak perlu lagi kita sibuk mencari kambing hitam (lha kambing hitamnya sudah tidak hitam lagi sich...) atau ribut menuding sana-sini, percuma hanya akan membuang energi dan waktu serta malah mungkin akan menambah masalah semakin ruwet saja!

Di saat yang seperti ini usaha dan karya nyata para pecinta dan aktivis (baca: seniman/seniwati) seni-budaya dan tradisi luhur yang mengakar di Bumi Pertiwi sungguhlah amat kita butuhkan. Bukan hanya untuk tujuan 'ngleluri' (melestarikan) tapi sekaligus 'menggethok-tularkan' (mengajar-sampaikan, menyebar-luaskan, membimbing) anak-anak kita yang sudah sedemikian 'kepincut' dan 'kedanan' dengan tokoh-tokoh super-hero produk asing yang tampil silih-berganti di layar TV setiap hari di tengah ruang keluarga kita.

Akan lebih menggila lagi pengaruh super-hero asing itu bila ada fasilitas unit komputer beserta aneka variasi video games dan permainan animasi di rumah, sehingga tak pelak lagi semakin bertubi-tubi pula pengaruh kuat super-hero asing yang seringkali diwarnai dengan adegan brutal, ceceran darah, dan bisingnya suara tembakan itu kepada anak-anak kita itu.

Lalu apakah kita harus menolak dan membuang semua yang berbau teknologi mutakhir dan produk asing? Tentu saja tidak demikian. Hasil karya manusia yang berupa kreasi teknologi mutakhir (baik itu kreasi domestik ataupun asing) ini malah sepatutnyalah kita syukuri dan nikmati. Kita pergunakan dengan sebuah kesadaran penuh bahwa itu semua hanyalah untuk kebaikan dan kesejahteraan kita semua, terutama anak-anak--generasi penerus kita di masa mendatang. Bila penggunaan kreasi teknologi mutakhir itu sudah mulai melenceng dari kesadaran diri itu, maka saatnya ada upaya tegas untuk menyetopnya. Sebab bila tidak kerusakan dan kehancuran saja yang akan menemani kita semua.

Saya pribadi sungguh mendapatkan sebuah kehormatan karena tak hanya mengenal bahkan bisa bersahabat dengan pecinta dan aktifis (baca: seniman/seniwati) seni-budaya dan tradisi luhur negeri kita itu, yang dengan sedemikian giat dan tak kenal lelah menggali, mempelajari, 'meleluri' (melestarikan) dan 'menggethok-tularkan' (mengajar-sampaikan, menyebar-luaskan, membimbing) bakat, talenta dan kemampuan mereka kepada anak-anak negeri atau bahkan orang-orang asing yang mengagumi keindahan seni-budaya dan tradisi luhur milik kita itu.

Sudah sepatutnyalah nama-nama seniman-seniwati itu saya prasastikan disini sebagai rasa penghargaan saya sebagai wakil dari masyarakat awam-pecinta dan pemerhati seni-budaya dan tradisi luhur negeri kita.

Beberapa nama sahabat seniman-seniwati yang mungkin telah Anda sekalian ketahui itu diantaranya saat ini tinggal di mancanegara (AS) untuk lebih memperkenalkan seni-budaya dan tradisi luhur (yang luhur saja, lho) negeri kita kepada masyarakat dunia. Nama-nama seniman-seniwati yang sudah tidak asing lagi di blantika seni-budaya Bali diantaranya: Pak Nyoman Catra dan Bu Desak Laksmi juga putra-putra beliau, Diajeng Cynthia Laksawana, 'Mbak' Lynn Kremers, pak Nyoman Saptanyana, Pak Made Lasmawan, untuk seni-budaya Jawa: Pak Sumarsam dan Bu Maini telah memberikan andil yang luar biasa bagi pengenalan dan perkembangan seni-budaya kita tak hanya kepada masyarakat Indonesia juga audience asing di luar negeri.

Tak lupa saya juga angkat topi--salut buat adik-adik dan teman-teman yang mau belajar dari para seniman-seniwati diatas dan ikut serta dalam upaya memperkembangkan seni-budaya kita di luar negeri khususnya di Negara bagian Massachusetts ini. Daftar nama mereka ini semoga nantinya akan disusul oleh nama-nama teman-teman lainnya: Denok Istarto, Laila, Aleksandra, dan Mbak Ketty, juga nama Ketua Permias Boston yang baru: Cecillia yang saat ini getol sekali menyusun sebuah acara istimewa dalam usaha memperkenalkan seni-budaya Indonesia kepada publik di Massachusetts ini.

Semoga anak-anak kita nantinya mau menengok, menggali, dan mempelajari kembali warisan seni-budaya dan tradisi luhur (pen: yang luhur saja, lho!) nenek moyang kita, baik itu yang berupa seni Tari, seni pagelaran Wayang Kulit, seni sastra, dan sebagainya. Sehingga nantinya gejolak sikap dan praktik brutal, tawuran, balang-balangan yang menggerogoti mental dan pola pikir anak-anak kita itu bisa terkikis bersih, digantikan oleh sebuah budaya seni edi peni yang halus dan luhur yang mampu mengasah budi pekerti dan mempertajam rasa kemanusiaan serta mengembalikan kemanusiaan anak-anak kita (juga kita) demi kebaikan dan kesejahteraan kita semua. [jwu]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman