Kamis, 13 November 2008

Tidak Dapat Dijerat Hukum




Oleh: Franz Magnis-Suseno SJ

Suara Pembaruan. MINGGU (3/10/2004) pagi sekitar 150 orang yang menamakan diri 'Fron Pemuda Islam Karang Tengah' mulai berkumpul di depan gerbang sekolah Katolik Sang Timur Karang Tengah Cileduk. Mereka menuduh sudah dilakukan pemurtadan dan menolak penggunaan sekolah sebagai tempat ibadah. Demonstrasi menjadi kasar. Gerbang dirusak, dibakar ban, seorang pria kedengaran berteriak "Kami harus memerangi orang kafir."

Jam 9.00, di hadapan camat dan Kapolsek, pastor menandatangani surat pernyataan akan menghentikan peribadatan di sekolah itu. Camat yang namanya Syarif menyambut penandatangan itu dengan berpidato kepada massa, di mana ia kedengaran mengatakan antara lain "Saudara-saudaraku, syukur alhamdulillah, perjuangan kami sudah tercapai."

Tidak puas dengan itu, para demonstran memaksa menyegel sekolah. Persis di pintu masuk mereka membangun tembok setinggi 160 cm persis sehingga orang tidak bisa masuk lagi. Selama seminggu sekolah, dengan lebih dari 2.000 murid, tutup. Sekarang sekolah sudah buka kembali, tetapi murid dan guru harus masuk dari belakang, dengan jalan kaki jauh. Tembok di depan pintu masuk, resmi tetap berdiri.

Sebagai latar belakang, ruang serba guna sekolah itu sejak 1992 - atas dasar surat rekomendasi Nomor 192/ Pem/VII/1992 Kepala Desa Karang Tengah - dipakai pada hari Sabtu/ Minggu dan hari raya besar oleh 8.975 anggota umat Paroki Bernadet Ciledug untuk misa kudus karena umat belum berhasil membangun gereja.

Nah, tiga bulan lalu, tanggal 29 Juli 2004, Kantor Departemen Agama Kota Tangerang mengirim surat yang meminta agar kegiatan keagamaan dihentikan di sekolah itu. Tanggal 30 Agustus, Lurah Karang Tengah mencabut surat rekomentasinya dulu. Sejak itu ibadat umat Katolik Ciledug mulai diganggu. Usaha umat untuk berdialog, minta agar boleh meneruskan ibadat sementara belum ditemukan tempat alternatif, dikandaskan tanggal 3 Oktober lalu itu.

Mengapa kejadian ini saya tuliskan untuk dimuat di sini? Saya sudah tidak tahan melihat kepicikan dan intoleransi di belakang kejadian-kejadian seperti itu.

Ciledug bukan kejadian satu-satunya. Dua bulan lalu Bupati Bandung per surat serentak menutup 12 tempat ibadat serupa di Bandung. Kekerasan terhadap gereja-gereja berjalan terus, dengan rata-rata satu kejadian per minggu. Sejak 1990 sudah lebih dari 500 gereja diserang. Apakah ini perkara kecil?

Alasan Kristenisasi bagi saya sangat tidak meyakinkan. Bahwa di sana sini ada orang masuk tidak perlu disangkal. Tetapi kalau melihat statistik Indonesia, maka selama 30 tahun ini, tidak ada pertambahan signifikan umat kristiani di negara ini. Jadi seberapa jauh signifikasi kasus-kasus itu?

Kebenaran adalah kebalikan. Di gereja Ciledug, dan di kebanyakan gereja di seantero Indonesia, sama sekali tidak dilakukan kristenisasi apa pun. Sama sekali tidak terjadi umat beragama lain di sekeliling gereja, atau sekolah, diajak masuk Kristiani. Saya curiga bahwa isu kristenisasi dipakai secara sengaja untuk membangun emosi.

Lalu terjadi kekerasan, pemaksaan, perusakan, kadang-kadang (ratusan kali) penghancuran. Orang bisa melakukannya dengan impunity (tidak terjerat hukum), karena serangan terhadap gereja di Jawa dan di beberapa pulau lain di Indonesia, dibiarkan saja. Di Ciledug malah Kantor Depag yang menjadi perintis pencekikan ibadat salah satu umat!

Saya bertanya, kita hidup di negara apa? Omongan tentang toleransi, tentang persatuan (ingat iklan bagus-bagus di TVRI), tentang Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi lelucon cemooh. Dan para pemimpin, kaum intelektual, para suara hati bangsa, di mana suara mereka? Tutup telinga, tutup mata, tutup mulut.

Undang-undang dasar kita dengan tegas menyatakan bahwa "orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya" (Pasal 28E, dan lihat Pasal 29, 2.). Tetapi sejak puluhan tahun, umat minoritas dihalang-halangi terus kalau minta izin mendirikan rumah ibadat, juga apabila jelas-jelas ada umat. Surat Keputusan Bersama 35 tahun lalu sudah menjadi sarana untuk mensabotase kebebasan beribadat.

Katanya, jangan membangun rumah ibadat di tengah-tengah umat beragama lain. Tetapi minoritas mau membangun rumah sudah pasti di tengah-tengah mayoritas. Tidak mungkin di tengah hutan. Izin membangun gereja tidak diberikan, atau perlu waktu 20 tahun. Tetapi kalau sementara ini umat beribadat di tempat seadanya, ia diancam dan dilarang.

Saya juga meragukan bahwa itu semua sekadar masalah masyarakat lokal. "Perjuangan kami sudah tercapai!", ujar Camat di depan gerbang sekolah Sang Timur yang baru dirusakkan. Perjuangan apa? Siapa punya? Siapa "kami" itu? Benarkah desas-desus bahwa ada jaringan orang-orang ekstrem yang sampai meresap ke administrasi lokal, yang sudah memutuskan untuk secara dingin mencekik kehidupan beragama minoritas di negara Pancasila?

Kezaliman terhadap peribadatan minoritas sudah melampaui batas dan mengancam membuat percuma usaha tulus banyak pihak di agama mayoritas maupun agama-agama minoritas untuk membangun hubungan yang toleran, berdasarkan salah percaya. Pertanyaan saya: Apakah pelecehan kebutuhan religius minoritas yang paling sederhana akan terus berlangsung dengan impunity?

Penulis adalah rohaniwan, guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta

*Komentar Redaksi Pembelajar.Com: Kerukunan antar umat beragama pernah menjadi sesuatu yang sangat dibanggakan oleh masyarakat dan bangsa ini. Belakangan, kebanggaan itu sedikit demi sedikit terkikis akibat riak-riak peristiwa semacam di atas. Harapan kita, semoga kekuatan-kekuatan sosial lain yang bisa menegakkan sendi-sendi kerukunan, toleransi, dan kesetiakawanan sosial sanggup bekerja lebih keras lagi. Ada pekerjaan rumah yang harus dirampungkan. Dan semoga kita dapat kembali hidup sebagai bangsa yang rukun dan damai, serta menjadi inspirasi bagi kedamaian di seluruh dunia.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman