Kamis, 13 November 2008

Mengapa saya menulis Novel WAJAH SEBUAH VAGINA?




Oleh Naning Pranoto

WAJAH SEBUAH VAGINA merupakan novel saya yang ke 17.

Vagina seperti juga phallus bukankah sekadar embel-embel bagi eksistensi manusia yang memilikinya. Vagina adalah pembeda yang paling mendasar dan yang menentukan bagi pemilahan gender.

Vagina mempunyai peranan yang sangat religius sebab vagina merupakan anugerah kemuliaan. Makanya, vagina yang sering disederhanakan sebagai sekadar alat reproduksi berperan histories dalam kelanggengan sejarah kemanusiaan. Sikap merendahkan dan menyalahgunakan fungsi vagina merupakan pelanggaran akibat terbatasnya kesadaran manusia. Sepanjang masih terjadinya pelecehan sakralitas vagina akan selalu menimbulkan dampak negatif yang cenderung menodai azas-azas kemanusiaan.

Saya tergerak menulis novel berjudul WAJAH SEBUAH VAGINA, berangkat dari terpicu oleh kenyataan-kenyataan seperti itu. Maslah vagina akan selalu terkait dengan masalah-masalah cinta dan seksualitas. Dalam sejarah kehidupan manusia masalah cinta dan seksualitas tidak pernah usang. Sebaliknya, selalu aktual dan universal.

Pengantar Novel WAJAH SEBUAH VAGINA
(Aku Ingin Hidup Tanpa Vagina)

Apa yang akan Anda lakukan bila tiba-tiba ada seorang perempuan menghampiri Anda dengan posisi bersimpuh, menyembah Anda sambil berkata dengan kalimat mengiba-iba, “Nyi Ratu Pembayun, dalem nyuwun berkah …?

Perempuan yang menyembah saya itu menganggap diri saya ini Nyi Ratu Pembayun, tokoh utama dalam folklore mashur tentang trik politik Panembahan Senopati (Raja Mataram). Dewi Pembayun dikorbankan untuk memikat dan menjebak lawan politik Paembahan Senopati, yang bernama Ki Ageng Mangir.

Ketika Pembayun mengandung anaknya, ia mengajak sang Suami menghandap ayahandanya. Saat Mangir menyebah, tombak Senopati menghabisi nyawa Mangir. Darah meleleh, melengkapi riwayat kelekatan hubungan seks, darah dan kekuasaan. Tetapi, mengapa saya disembah dan diperlakukan sebagai Nyi Ratu Pembayun? Saya ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Aku bahkan menganggap diriku ini seperti tidak pernah ada. Sebab, terus terang saja, saya hanyalah seorang manusia biasa, yang belum pernah berbuat sesuatu untuk orang lain..

Bulu kuduk saya jadi berdiri ketika menghadapi perempuan asing yang menyembah saya itu. Peristiwa ini terjadi pada suatu malam di musim gugur, ketika saya baru selesai nembang Jawa di suatu acara yang diselenggarakan di universitas tempat saya belajar di Benua Kanguru, menjelang tahun 2000….

“Maaf, saya bukan Nyi Ratu Pembayun. Jangan menyembah saya,” tanggap saya dengan bahasa Jawa, sambil berlari dengan lutut gemetar, meninggalkan perempuan aneh itu.

Ternyata, perempuan itu mengejar saya dan mengiba-iba. Kali ini ia tidak memanggil saya dengan sebutan Nyi Ratu Pembayun lagi, melainkan, “Mbak…! Mbak…maaf! Saya ingin menyampaikan sesuatu kepada sampeyan (Anda) Penting sekali. Tolonglah saya. Tolong. Ini, Mbak!” tuturnya dengan tergopoh-gopoh, yang kali ini menggunakan bahasa Indonesia medok khas Yogya-Solo.

Saya menoleh dengan ketakutan. Ia menyerahkan kertas lipatan kepada saya, lalu berlari meninggalkan saya. Sekilas saya amati, ia berambut panjang diurai, panjangnya hampir menyentuh kakinya yang mulus. Malam itu ia mengenakan rok span hitam, blus motif floral warna merah. Saya tidak sempat mengamati wajahnya dengan saksama, apakah dia cantik atau tidak. Selain saya takut mengamatinya, pertemuan saya dengannya memang begitu tiba-tiba dan hanya berlangsung sepintas.

Mbak, please call saya besok di nomor 5572XXXX…saya ingin hidup bebas.
Please selamatkan saya.
– Sunarti (bukan nama sebenarnya)

Demikian bunyi kertas lipatan darinya yang diserahkan kepada saya. Kalimat itu ditulisnya dengan huruf seperti tulisan anak kelas III SD dan tampak sekali waktu menuliskannya tergesa-gesa. Kertas yang dipergunakan untuk menulis sobekan dari notes yang pinggirannya bergambar bunga-bunga.

O, ia minta ditelepon? Sunarti! Siapakah perempuan itu? Mengapa ia ingin saya telepon? Saya jadi penasaran membaca surat Sunarti. Surat ini kemudian saya diskusikan dengan sahabat saya, gadis Jerman. Saya juga menghubungi salah seorang mahasiswi Indonesia (Nuraeni dari Padang – bukan nama sebenarnya). Nur dikenal sebagai salah satu aktivis pembela hak-hak perempuan Indonesia yang kebetulan sedang tugas belajar di universitas yang sama dengan saya. Surat Sunarti yang singkat saya bicarakan dengan Nur. “Mbak, Sunarti sebaiknya kita telepon saja. Habis bikin penasaran.” Tanggap Nur, sama dengan sahabat saya si Gadis Jerman itu.

Saya pun lalu menelepon Sunarti. Suara Sunarti tersendat, penuh luapan emosi, saat menerima telepon saya. Kalimatnya terpatah-patah, dalam bahasa Jawa. Intinya, ia ingin bertemu dengan saya, untuk mencurahkan isi hatinya. Begitu selesai menyebut nama tempat yang akan dijadikan tempat pertemuan kami, Sunarti langsung menutup teleponnya. Ketika saya mencoba menghubunginya lagi, pesawatnya bereaksi mail-box.

Akhirnya saya menyambung pembicaraan saya dengan Sunarti melalui tatap muka di sebuah kafe yang berlokasi tersembunyi. Sunarti memilih kafe ini dengan alasan, agar tidak diketahui oleh lelaki pasangan hidupnya itu. Di kafe inilah Sunarti mencurahkan isi hatinya, bahwa ia ingin bebas. Menurut pengakuannya, hampir 25 tahun ia hidup tertindas dalam siksaan pasangan hidupnya (mereka tidak menikah) seorang lelaki kulit putih berdarah Belanda, yang pernah menjualnya sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) di atas kapal yang membawanya ke Afrika Selatan. Sunarti dibawa ke Afrika Selatan dengan janji akan dinikahi oleh pasangan hidupnya itu, yang mengaku sebagai pengusaha tambang emas dan berlian. Sampai di Afrika, Sunarti tidak dinikahi, malah sempat dibunuh (dimasukkan ke dalam sebuah lobang bawah tanah di hutan) oleh pasangan hidupnya itu. Untunglah, ia diselamatkan oleh Suku Zulu setelah diperkosa secara massal oleh para lelaki amoral. “Pada waktu itu kondisi saya benar-benar hancur. Yang hancur tidak hanya vagina saya, tetapi juga jiwa saya. Saya ingin mati, tetapi kenyataannya masih hidup sampai sekarang,” tutur Sunarti dengan suara serak dan berurai airmata. “Saya ingin hidup tanpa vagina. Barangkali ini akan dapat mengakhiri penderitaan saya …,”

Perempuan tanpa vagina? Masihkah ia perempuan? Ya, Sunarti ingin hidup tanpa vagina. Baginya, vagina hanya merupakan sumber malapetaka. Apakah Anda berpendapat demikian? Yang jelas novel WAJAH SEBUAH VAGINA yang tidak lama lagi akan berada di tangan Anda ini, bisa saya tulis setelah terpicu kisah hidup Sunarti yang ditandai dengan jiwa dan vagina yang berdarah-darah karena tindak kekerasan kaum lelaki…..

Selamat membaca,
Naning Pranoto


Naning Pranoto lahir di Yogyakarta, 6 Desember 1957. Pendidikan formal yang pernah ditempuhnya: Akademi Sekretaris Santa Maria Yogyakarta (1979); Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta (1985); Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional Jakarta (1986); English Language Centre Monash University, Australia (1996); Creative Writing – University of Western Sydney – Australia (1999); International Relations (Chinese Studies) Bond University, Australia (2001). Kini mempersiapkan studi untuk menempuh S-3 di bidang Chinese Studies di Suzhou University, RRC.

Pengalaman kerja antara lain menjadi wartawati di Majalah Mutiara (Sinar Harapan Grup, 1977-1978), Majalah Kartini (1978-1980; 1982-1984), Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta-Jakarta (1981-1982), Editor Majalah Dharma Wanita (1982-1990), Direktur Produksi PT Scorta Video-Film (1987-1990), Direktur Produksi Admella Productions (1991-1994), Penulis Naskah Sandiwara Radio BBC dan Rekaman Cerita di Sanggar Prativi (1985-1992), Direktur Sinergy-21/Aneka Yess! (1997-2003) dan mengasuh Majalah Anak-anak Favorit -Aneka Yess! Grup (2001-2003).

Aktif di berbagai organisasi sosial sejak tahun 1982, khususnya yang ada kaitannya dengan pemberdayaan SDM dan pelestarian lingkungan hidup. Antara lain tahun 1985 mendirikan Yayasan Duo Mandiritama dan tahun 1997 mendirikan Sinergy-21 bersama Majalah Aneka Yess!.Tahun 2002 mendirikan Garda Budaya Indonesia didukung oleh para sastrawan, pendidik, motivator SDM dan aktivis pelestarian lingkungan hidup. Aktivitasnya di bidang ini sampai dengan akhir tahun 2003, telah mengunjungi kurang lebih 15.000 tingkat TK-SD-SLTP-SLTA dan Perguruan Tinggi dan mendapat beberapa Piagam Penghargaan. Aktivitas yang ditangani antara lain menggelar berbagai seminar, ceramah, pelatihan di berbagai sektor, antara lain: Kesehatan Alat Reproduksi, Pengembangan Kepribadian, Bina Profesi, Bina Menulis/Mengarang, Pelestarian Budaya, dan Pelatihan Kerja. Sehubungan dengan berbagai kegiatannya ini ia mendapat berbagai undangan dari NGO dalam maupun luar negeri. Antara lain mengikuti workshop dan seminar di Brazil, Belanda, Filipina, Singapura, Malaysia, Bangkok dan Australia.

Sekarang ini selain memimpin Yayasan Garda Budaya Indonesia, aktif sebagai penulis lepas dan aktif sebagai dosen tamu di berbagai universitas dan dosen tetap di Universitas Nasional (mengajar Creative Writing dan Hubungan Internasional: Pengantar Sejarah Jepang dan Studi Cina). Juga aktif sebagai tutor creative writing dan menjadi pembicara dalam seminar yang ada kaitannya dengan peningkatan kreativitas kaum muda .

Hobinya menulis, sampai dengan tahun 2003 telah menghasilkan 15 judul novel dan ratusan cerita pendek. Novelnya antara lain Mumi Beraroma Minyak Wangi, Miss Lu, Musim Semi Lupa Singgah Di Shizi, Bella Donna Nova, Azalea Jingga, Angin Sorrento, Perempuan Dari Selatan dan Dialog Antar Dua Topeng, Wajah Sebuah Vagina serta Sebilah Pisau Dari Tokyo (Kumpulan Cerita Pendek). Karya non-fiksi: karya-karya ilmiah yang ditulis di berbagai jurnal, menulis buku 72 Jurus Creative Writing (Seni Mengarang), Kaki-kaki Pikiran dan Ruang Perempuan (Seks, Pemikiran dan Uang) dan Kekerasan Perempuan Terhadap Pria.

Kontak: e-mail : not@indo.net.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

instanx

tukar link

Total Tayangan Halaman